Minggu, 23 Oktober 2011

Ada Haru di Ruang Tunggu


Beberapa hari yang lalu saat saya berada pada antrian ruang tunggu praktik dokter, saya bertemu dengan seorang wanita mungkin berumur 35 tahun ke atas datang bersama gadis berumur kira-kira belasan tahun. Mereka duduk di samping saya, sama-sama menunggu giliran untuk dipanggil tentunya. Saya tersenyum ke arah wanita itu dan mulai ‘sok akrab’ karena sama-sama jenuh menunggu. Kami berbincang sederhana pada awalnya. Mulai bertanya nama, tinggal dimana, hingga kesibukan kami sehari-hari. Hingga akhirnya tentu saja bermuara pada obrolan kenapa kita datang menemui dokter. Saya jelaskan padanya bahwa saya harus kontrol karena saya baru saja menjalani laparoskopi karena kista endometriosis. Wanita itu lalu bertanya, ‘Udah nikah berapa lama mbak? Udah punya putra?’. ‘Wah, saya baru nikah 8 bulan Bu. Doakan pasca LO ini bisa cepet punya momongan ya’, jawab saya waktu itu. Wanita itu tersenyum, ‘Semoga cepet punya momongan ya..Mbak khan masih muda, sama-sama saya juga sedang berusaha buat punya baby’. Dari situlah kisah dimulai...

Wanita itu datang ke dokter karena sedang mengusahakan momongan rupanya.Ia memulai ceritanya, ‘Saya tidak tahu apa yang terjadi pada diri saya. Sudah puluhan dokter saya datangi, tapi jawabannya tidak ada yang memuaskan. Katanya sel telur saya baik-baik saja. Sudah pernah persiapan operasi tapi katanya tidak ada yang perlu dioperasi karena “tidak ada apa-apa”. Masalah saya waktu haid Mbak. Saya setiap haid selalu kesakitan dan transfusi darah. Darah haid saya juga seperti tidak normal. Besar-besar seperti hati ayam. Sering waktu sekolah dulu saya pingsan dan perdarahan banyak sekali karena haid’. Saya menimpali, ‘Mungkin ada kista Bu? Saya masalahnya juga waktu haid sakit banget meskipun tidak seperti Ibu’. Wanita itu menjawab, ‘Belum ada dokter yang bilang saya kista, miom, atau apa. USG juga katanya bersih. Entahlah...’. Saya terdiam. Bingung hendak berkata apa karena saya juga bukan dokter.

Wanita itu melanjutkan kisahnya, ‘Sudah 8 tahun saya menikah Mbak. Tapi saya belum hamil juga. Baru-baru ini saya mencoba inseminasi buatan dengan biaya yang tidak sedikit, tapi sepertinya ada masalah dan tidak berhasil. Wah..saya udah datang ke puluhan dokter. Entah sudah berapa biaya yang saya keluarkan sampai tidak saya perdulikan. Saya dan suami kesepian Mbak...dan ini anak yang nemenin saya ini -*menunjuk gadis di sebelahnya*- udah saya anggap seperti anak saya sendiri karena hanya dia teman saya saat dirumah. Saya sampai keluar dari pekerjaan dan karier saya yang udah lumayan karena saya ingin fokus ikhtiar mendapatkan putra. Dari hasil pemeriksaan, sperma dan organ reproduksi suami tidak ada masalah. Sudah 8 tahun kami menikah Mbak, bukan lagi 8 bulan seperti Mbak’, tutur wanita itu. Saya lihat air mata mulai menggenang di sudut matanya hingga akhirnya menetes.  Ya, wanita itu menangis. Saya bisa merasakan kerinduan dan harapan yang membumbung tinggi dari setiap air matanya yang jatuh. Ada keharuan di dada saya. Ah, menangis bagi wanita seperti virus yang cepat menular. Air mata juga menggenang di mata saya. Saya katakan, ‘Sabar Bu. Jangan putus asa. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Alloh’. Saya yakin...kata ‘sabar’ pasti sudah puluhan, ratusan, atau bahkan ribuan kali wanita itu dengar. Wanita itu mengusap air matanya. Lagi-lagi saya terdiam. Saya hanya menggengam tangan wanita yang baru saya kenal itu dan memberikan senyum. Saya bisa merasakan apa yang ia rasakan. Saya yang belum setahun menikah saja sudah merindukan ada janin di rahim saya, ingin merasakan sensasi gerakan bayi yang terasa ‘aneh’ sebagaimana cerita rekan-rekan wanita saya saat mereka mengandung, merasakan morning sick atau perut yang katanya terasa kencang saat kehamilan menua. Saya dan wanita di samping saya itu masih terdiam. Seakan kami sedang menghayati perasaan kami masing-masing. Hingga akhirnya nama saya dipanggil untuk diperiksa dan saya berpamitan sambil berkata kepada wanita itu, ‘Jangan pernah lelah ya Bu. Alloh selalu ingin lihat Ibu sebagai umatnya yang kuat dan hebat. Wanita yang terpilih’. Wanita itu tersenyum sambil mengucapkan terimakasih.

Sepanjang perjalanan pulang saya terngiang kisah wanita di ruang tunggu tadi. Betapa dari ceritanya ia sudah berusaha kuat untuk mendapatkan momongan. Pekerjaan dan karier yang bagi wanita dianggap sebagai simbol aktualisasi diri pun berani dikorbankannya. Demi sebuah kehamilan dan bayi yang lahir dari rahimnya. Tapi kenapa, bagi mereka wanita yang dimudahkan jalan kehamilannya seringkali mengeluh dan tidak bersyukur? Saya sering sekali membaca keluhan di status jaringan sosial milik teman-teman wanita saya yang sedang mengandung. Ada yang tersiksa karena morning sickness-lah, lelah muntah-muntah, tidak enak badan, perut kenceng-kenceng, badan pegel-pegel, ngga bisa makan enak, dan berbagai keluh kesah yang lain. Bukankah semua yang mereka rasakan itu sensasi wajar yang dialami oleh wanita hamil? Oke, kalaupun mereka merasa tidak nyaman dengan itu semua atau merasa bermasalah dengan yang mereka alami, bukankah lebih bijak jika mereka menelpon dokter kandungannya, atau datang ke tempat prakteknya dan tidak mengeluh di akun jaringan pertemanan mereka? Tadinya saya berpikir, mungkin saya cemburu dengan kehamilan mereka. Namun setelah perbincangan di ruang tunggu itu saya sadar, keluh kesah yang dilontarkan dan dieksploitasi oleh para wanita hamil bisa jadi menyakiti mereka para wanita yang sedang berikhtiar ‘lebih’ untuk mendapatkan kehamilannya.

Ruang tunggu dokter saya pastinya sudah sesak oleh berbagai kisah dan juga haru di dalamnya. Seperti kisah wanita tadi. Atau mungkin haru seorang ibu yang sedang memandang foto USG janinnya. Ya, ada haru dan kerinduan para wanita yang mendambakan buah hatinya, yang tidak lelah mengusahakannya. Saya berdoa...semoga mereka yang sedang merentas jalan ikhtiar pada akhirnya akan berakhir haru tak terkira melihat ada kehidupan dalam rahimnya, menimang buah hati cintanya. Semoga kerinduan itu berakhir bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar