Laparoskopi...? Apa pula itu? Pada awalnya saya yang bukan alumnus Fakultas Kedokteran ini tidak perduli sama sekali bahkan tidak pernah mendengar istilah itu di telinga saya. Namun, kejadian beberapa bulan terakhir ini membuat saya harus benar-benar menjelajah berbagai sumber untuk mengetahui apa itu Laparoskopi.
Pertemuan yang Menjawab
Cerita dimulai saat awal Februari tahun ini saya dan suami secara tak sengaja bertemu dengan salah seorang dokter obgyn yang bertugas bersama mama di Rumah Sakit. Dokter Hari namanya. Beliau adalah dokter yang cukup senior dan berpengalaman di bidangnya. Kami saling menyapa dan seperti biasa,ngobrol kesana-kemari hingga akhirnya saya memberanikan diri untuk bertanya. 'Dok, saya udah nikah 7 bulan kok belum ada tanda-tanda hamil yah?', tanya saya waktu itu. Si dokter dengan enteng menjawab, 'Ah, baru juga 7 bulan. Kemaren waktu nikah aku juga datang ya. Emang udah pengen banget ya? umm..yang patut diwaspadai itu kalo setahun belum ada tanda-tanda kehamilan'. Tak mau kalah saya pun menjawab, 'Tapi saya beneran deh Dok pengen punya baby. Biar nanti anakku panggil Dokter dengan sebutan Eyang Dokter'. Dokter Hari pun 'mengalah'. Beliau bersedia memeriksa saya dan suami. Satu per satu pertanyaan dilontarkan. Diantaranya, apakah kami tinggal serumah, apakah kerja kami cape *emang ada kerja yg ngga cape?*, siklus haid, keputihan,bla..bla..bla. Sepertinya sampai disini tidak ada masalah berarti, hingga akhirnya Dokter Hari menanyakan 'Kamu kalo haid sakit ngga?'. Haaah, pertanyaan macam apa pula itu..dengan sangat tegas,sigap,tanpa pikir panjang dan lantang saya jawab 'Amat sangat sakit Dok!'. Dokter Hari mulai mengernyit. Feeling saya berkata mungkin ini jawaban dari segala kebimbangan dan kekhawatiran kami selama ini.
Pemeriksaan USG
Dokter Hari segera mengajak saya untuk melakukan pemeriksaan USG, benar saja...Dokter yang notabene cukup dekat dengan keluarga kami itu kaget saat mulai meletakkan alat entah apa namanya di perut saya. Saat melihat layar,beliau berkata "Ada kista di rahimmu. Tidak cuma satu, duplex dan ini yang selalu membuatmu kesakitan luar biasa saat haid, sudah sampai diameter 7 cm, atasi segera". Saya diam, benar-benar diam. Pikiran saya kemana-mana. Saya ingat sekitar 3 atau 2 tahun lalu pernah melakukan USG karena saya sakit luar biasa saat haid. Tapi hasil USG saya baik. Bersih. Saya hanya dinyatakan mengalamidysmenorhea primer, hanya perlu pereda nyeri, bukan gejala klinis serius, dan diduga saat sudah menikah nanti rasa sakit saat haid saya akan berkurang. Itu kata dokter yang memeriksa saya waktu itu. Sekarang, saya harus menerima kondisi bahwa rupanya ada kista di rahim saya dan itu mengagetkan. Saya melihat ke arah suami saya. Lelaki itu tetap teduh dan tenang. Pandangan matanya seakan mengatakan "Tidak ada apa-apa,kamu baik-baik saja".
Coping Stress yang Kacau
Saya masih diam saat Dokter Hari menuliskan surat rujukan untuk salah seorang dokter ahli kandungan lain dengan gelar sub-spesialis yang disandang. Saya masih diam. Segala urusan administrasi diselesaikan oleh suami saya. Saya masih terpaku. Tapi saya ingat masih sempat mengucapkan terimakasih kepada Dokter Hari untuk berpamitan pulang, dan beliau berkata "Sabar, semoga ada jalan keluar terbaik". Keluar dari ruangan itu saya baru bisa menangis.
Kehidupan saya pada hari berikutnya seakan mulai berbeda. Emosi saya naik turun, labil, dan sangat reaktif. Tapi itu tidak mengubah jadwal keseharian saya. Saya tetap bekerja, saya tetap menempuh perjalanan pulang pergi kira-kira sejauh 75 km dengan bis untuk pergi ke kantor, saya tetap melakukan tugas penyuluhan, saya tetap melayani suami, saya tetap menempatkan posisi dan tanggung jawab atas status yang saya sandang. Namun satu yang tidak bisa dibohongi, pikiran saya terpaku pada kista yang ada pada rahim, dan buruknya itu membuat saya semakin sering diserang gejala nyeri pada bagian bawah perut.
Emosi saya kacau, buruk. Akibatnya, saya sering marah dan sangat sensitif dengan kondisi di lingkungan sekitar saya hingga beberapa waktu. Tapi suami saya tetap sabar. Beliau membesarkan hati saya dan selalu mengingatkan agar saya selalu bersyukur atas karunia yang telah Alloh berikan kepada kami. Keadaan semakin memburuk saat datang bulan saya tiba. Saya frustasi luar biasa. Perut saya seakan diremas-remas, badan saya demam tinggi, kepala saya pusing, mual dan muntah tidak pernah berhenti. Saya semakin merasa menstruasi pasti akan membunuh saya. Benar-benar tidak berdaya.
Menurut saya , kualitas kehidupan saya menurun. Hati saya tercabik saat melihat suami tersakiti secara tak sengaja saat emosi saya labil. Saya berpikir, segalanya harus diperbaiki. Saya mencoba menerima kenyataan bahwa saya mengidap kista, saya bertekad untuk sembuh, saya berniat untuk selalu menjaga keadaan emosi dan fisik saya, saya tidak ingin menyakiti hati suami, saya ingin menimang buah hati kami, dan saya harus bertemu dengan dokter yang direkomendasikan oleh Dokter Hari. Yaa...saya harus kuat menghadapi semuanya! Problem focus coping saya berkembang...saya menelusuri berbagai sumber tentang kista, utamanya kista endometriosis yang saya idap, serta laparoskopi yang disebut oleh Dokter Hari sebagai metode untuk mengangkatnya. Semangat sembuh mulai berpijar.
Secercah Harapan di Selasa Sore
Hingga akhirnya tekad saya sudah bulat. Saya akan bertemu dengan dokter rujukan. Ajakan saya disambut dengan penuh dukungan oleh suami tercinta. Saya pun menelpon rumah sakit dimana dokter tersebut berpraktek. Rumah sakit swasta yang cukup ternama di ibukota provinsi. Kebetulan hari itu adalah hari Selasa dan tepat bersamaan dengan jadwal praktek dokter tersebut. Sepulang kantor, saya dan suami pun bergegas mendatangi Rumah Sakit tersebut.
Sesampai di sana dan mendaftar sebagai pasien, saya masih menunggu antrian. Suami tidak pernah melepaskan genggaman tangannya. Beliau bertanya, 'Tangan kamu dingin, takut?'. Saya hanya menjawab dengan senyum simpul saya. Saya yakin, tanpa menjawab pun beliau tahu persis apa yang saya rasakan saat itu. Tak beberapa lama, nama saya dipanggil masuk. Suami mengiringi langkah saya untuk memasuki ruang dokter. Dokter itu menyambut kami dengan hangat. Entah kenapa rasa canggung dan takut hilang seketika. Dokter Syarief namanya. Beliau orang yang sangat komunikatif, responsif, smart dan ramah. Oleh dokter Syarief saya pun di USG ulang. Tepat sekali. Hasil diagnosis dokter Syarief menyokong diagnosa dokter Hari sebelumnya. Kissing chysta endometriosis *entah benar atau tidak tulisannya* intinya bentuk kistanya 'berciuman',saling dempet, dan sepertinya ada perlengketan di beberapa tempat. Dokter Syarief menyarankan agar kista itu segera diangkat karena letaknya yang ternyata ada di balik rahim sering membuat saya kesakitan luar biasa saat haid. Hal ini juga yang mungkin menyebabkan hingga 7 bulan pernikahan kami tak juga ada tanda kehamilan. Kista itu mendesak saluran telur sehingga menghambat proses pembuahan. Saya pun menduga mungkin beberapa tahun lalu saat USG saya dinyatakan bersih sebenarnya kista itu sudah ada, namun karena letaknya yang ada di balik rahim dan masih berukuran kecil menyebabkan samar dan tak tampak *yang terakhir ini diagnosa ngasal saya yang berdasarkan sistem kira-kira..hehehe*
Dokter Syarief juga menjelaskan secara detail bagaimana kista itu terbentuk. Menurut beliau dan juga menurut beberapa jurnal asing yang saya baca, kista tidak dapat ditentukan sebabnya. Beberapa penelitian menyatakan bahwa itu disebabkan oleh polutan, seringnya mengkonsumsi daging merah, faktor hormonal, faktor genetik, dan kasusnya acapkali ditemui pada wanita langsing dengan body massa indeks yang rendah *berat badan saya memang di bawah rata-rata ukuran BMI normal*. Tapi semua faktor itu masih kabur, belum ada yang dapat menjelaskan secara pasti. Akan tetapi, kista endometriosis terbentuk karena darah haid yang seharusnya keluar malah masuk berputar kembali ke rongga perut dan rahim serta mengendap menjadi kista dan menempel di jaringan endometrium. Kurang lebih seperti itu penjelasannya *maklum jika tak begitu tepat karena latar belakang pendidikan saya dari psikologi*. Kista endometriosis maupun kista jenis lain sendiri bisa diangkat melalui metode laparoskopi. Dokter Syarief menjelaskan panjang lebar tentang apa itu laparoskopi. Berbekal pengetahuan dan jurnal yang saya baca melalui internet tentang laparoskopi, diskusi kami terasa 'nyambung' dan semakin meyakinkan hati saya.
Laparoskopi merupakan teknik pembedahan yang dilakukan dengan membuat dua atau tiga lubang kecil (diameter 5-10 milimeter) di sekitar perut pasien. Satu lubang pada pusar digunakan untuk memasukkan sebuah alat yang dilengkapi kamera untuk memindahkan gambar dalam rongga perut ke layar monitor, sementara dua lubang lain digunakan untuk peralatan bedah yang lain. Laparoskopi juga meminimalkan resiko, mempercepat pemulihan, dan mengurangi nyeri pascaoperasi. Rawat inap pun tak perlu berlama-lama, estetika bekas operasi pun tetap terjaga karena minim jahitan.
Saya mantap segera menentukan hari kapan laparoskopi akan dijadwalkan. Tapi dokter Syarief menyarankan agar saya terus mencari informasi tentang laparoskopi sembari pikir-pikir kapan jadwal yang tepat. Saya sedang berada pada titik sibuk pekerjaan pada waktu itu, dokter Syarief sendiri juga dalam waktu dekat hendak bepergian ke luar negeri berkaitan dengan profesinya. Beliau memberi saran agar menjadwalkan laparoskopi setelah saya haid karena laparoskopi tidak dapat dilakukan saat pasien sedang haid. Kami pun sepakat, hanya perlu bertemu dengan beliau selama 2 hingga 3 kali lagi, diberikan surat pengantar untuk operasi, dan ikhtiar medis kami siap dilakukan.
Laparoskopi yang Diawali Rasa Lapar *hohoho...*
Tepat di tanggal pembuka April saya akan melakukan laparoskopi. Hari Jum'at tepatnya. Entah kebetulan atau tidak tapi di dalam sugesti saya, Jum'at adalah hari baik yang pasti memihak *self-suggestion sangat membantu saya mengurangi rasa cemas*. Berhubung tindakan laparoskopi akan dilaksanakan pada Jumat pagi, maka hari Kamis sebelumnya saya pun sudah harus masuk Rumah Sakit untuk melakukan serangkaian pemeriksaan pra-operasi. Mulai dari ambil darah untuk cek hasil laborat, suntikan uji alergi, suntikan mengurangi rasa cemas, suntikan semacam uji anastesi, mencukur pubes, dan puasa. Ya, saya harus berpuasa mulai dari Jumat dini hari pukul 02.00 WIB hingga waktu operasi. Saya yang terbiasa sarapan di pagi hari pun terpaksa harus menahan lapar dan satu lagi...tidak boleh minum juga, walaupun air putih. Allah, bisakah dibayangkan seperti apa rasanya bangun tidur dan tanpa air putih? Sudahlah, saya bersabar untuk itu. Rencana laparoskopi akan dimulai pukul 08.30. Sembari menanti waktu, suami terus mengajak saya berbincang dan bercanda. Saya tahu...beliau sedang membesarkan hati saya. Bapak dan ibu mertua juga sudah datang di Rumah Sakit sejak pagi untuk menemani. Mama papa menyusul kemudian karena hambatan di jalan yang membuat perjalanan mereka sedikit terhambat. Setidaknya kehadiran orang-orang tersayang sangat berarti bagi saya yang notabene tak pernah berurusan dengan kamar operasi ini.
Pukul 08.00 tepat dua orang suster datang ke kamar saya. Mereka membawakan baju ganti untuk di ruang operasi dan bersiap untuk membawa saya di ruang kamar operasi. Entah kenapa, saya tak mengalami rasa cemas, takut, dan khawatir yang berlebihan. Mungkin efek suntikan anti cemas tadi...atau mungkin memang kemantapan hati saya untuk ingin lekas sembuh, berikhtiar mengusahakan datangnya buah hati di keluarga kecil kami. Bapak Ibu mertua dan suami saya masih sempat mencium kening saya. Saya membalas dengan senyum simpul sambil menggenggam tangan suami. Saya dibawa melalui jalur belakang, sedang suami dan keluarga akan menyusul menunggu di depan ruang operasi melalui jalur yang berbeda. Sepanjang perjalanan menuju ruang operasi saya terus berdoa. Mengingat dan menyebut asma-Nya. Keramahan suster yang membantu membawa saya ke kamar operasi pun terasa sangat menghangatkan.
Sampailah saya dalam kamar operasi yang sebenarnya, setelah sebelumnya saya sempat 'transit' di kamar persiapan atau pra-operasi selama beberapa menit. Ruangannya benar-benar dingin. Kesibukan di kamar operasi mulai terasa, saya juga melihat dokter Syarief sudah ada disana. Lengkap dengan masker dan baju operasi serta tetap dengan keramahannya. Ada dokter anastesi juga yang sebelumnya telah bertemu saya saat di kamar rawat. Saya pasrah. Hidup mati dan segala skenario di hidup saya telah saya serahkan sepenuhnya kepada Alloh. Seorang suster berperawakan kurus dan tinggi menyentuh tangan saya, memasangkan selang infus, dan bersiap menyuntikan sesuatu. Dokter Syarief dan tim operasi membesarkan hati saya. 'Ngga apa-apa', 'Berdoa ya ibu...semoga semua lancar' itu adalah kalimat-kalimat yang terus mereka katakan. Hingga seorang suster menyuntikkan obat anastesi dalam selang infus saya sambil berkata, 'Kita mulai ya Ibu..jangan lupa berdoa. Selamat tidur, semoga mimpi indah' dan semuanya tiba-tiba gelap,saya juga tidak merasakan rasa ngantuk yang bertahap. Saya berada dalam kendali anastesi sepenuhnya.
Pasca Laparoskopi : Saya Merasa "Baru"
Saya memicingkan mata. Ruangan yang sangat terang menyilaukan mata saya. Suara suster berbincang terdengar jelas. Heii..sepertinya saya mulai sadar. Saya melihat jam dinding di depan saya menunjukkan pukul 11.40 dan saya membaca tulisan 'KAMAR PRA-OPERASI'. Saya berada di ruangan yang sama sebelum saya masuk kamar operasi tadi. Dua orang suster ada di samping saya dan menanyakan sesuatu, tapi entah saya belum bisa 'nyambung' menjawab pertanyaannya, kalimat pertama yang saya lontarkan adalah 'Operasinya lancar Sus?', saya mendengar suara saya sedikit serak, tenggorokan saya juga terasa gatal. Suster itu menjawab, 'Lancar Bu, kita kembali ke kamar ya'.
Saya yang berada di tempat tidur didorong keluar dari ruang operasi. Orang pertama yang saya lihat dengan jelas ada di depan ruangan itu adalah suami saya. Wajahnya sedikit tegang. Saya ingin menyapanya tapi tubuh saya terasa lemah. Saya hanya bisa tersenyum. Sesampainya di kamar rawat sepertinya kesadaran saya berangsur kembali. Ada sesuatu yang terasa mengganjal, rupanya ada kateter yang dipasang di organ kemih saya. Makanan sudah disiapkan suster di kamar, saya sudah boleh makan tanpa harus menunggu kentut. Perlahan saya mulai diajak ngobrol sembari disuapi. Saya bertanya kapan mama papa datang, kenapa di jalan, berapa lama waktu operasi saya, dan apakah operasi lancar. Suami saya menjawab dengan sabar. Laparoskopi yang saya jalani berlangsung selama kurang lebih tiga jam. Benar perkiraan saya tadi, saat saya keluar waktu menunjukkan pukul 11.40. Jika operasi dimulai pukul 08.30 berarti memang 3 jam waktu operasi saya. Suami saya juga bercerita, di tengah opearsi tadi seorang suster datang meminta tandatangannya sebagai persetujuan bahwa saya akan dikonsulkan ke dokter bedah yang kompeten karena rupanya telah terjadi perlengketan di usus. Entah bagaimana, tapi menurut cerita suami saya, usus saya masuk terjepit dalam kista dan telah terjadi perlengketan. Beliau mengaku khawatir dan cemas luar biasa, tapi merasa lega setelah operasi selesai dengan baik. Beliau juga bercerita sempat diperlihatkan kista saya yang sudah diangkat. Bentuknya seperti jaringan kulit yang tercabik-cabik, mungkin karena isi cairan di dalamnya sudah diambil. Apapun itu saya dan suami lega, satu langkah awal ikhtiar telah kami lewati.
Hari Sabtu sore, dokter Syarief datang visiting ke kamar saya diiringi oleh beberapa suster. Beliau menjelaskan jalannya operasi kemarin dan beberapa saran, diantaranya agar saya banyak makan jadi cepat pulih. Dokter Syarief juga sudah memperbolehkan saya lepas infus menghabiskan infus terakhir yang saya pakai serta melepas kateter pada keesokan paginya. Saya bersyukur, mengucapkan terimakasih kepada beliau dan saya merasa menjadi pribadi baru yang lebih bersemangat.
Minggu pagi suster datang, melepas kateter yang selama ini membatasi ruang gerak saya dan saya dianjurkan untuk berlatih jalan pelan-pelan. Saya senang dan tak sabar untuk segera turun dari tempat tidur. Saya juga mengatakan kepada suster bahwa saya tidak perlu lagi disibin, saya mau mandi sendiri. Perlahan-lahan kaki saya menapak lantai. Masih sesekali terasa ngilu tapi saya kuat menahan. Mandi berhasil saya lakukan sendiri, sarapan pagi, mengambil baju dan berganti pun juga bisa saya lakukan sendiri. Saat visit pagi itu Dokter Syarief juga sudah memperbolehkan saya untuk pulang dan recovery di rumah setelah perban yang menutup luka sayat laparoskopi di perut saya diganti. Bahagia...Setidaknya saya, suami, dan keluarga masih diberikan kekuatan oleh Alloh untuk terus berikhtiar. Harapan masih terbentang karena dokter mengatakan sel telur saya masih dihasilkan dengan normal, alhamdulillah rahim saya sudah 'diperbaiki' dan yang terpenting kami percaya bahwa penantian ini nantinya akan berbuah manis. Alloh sedang memilih kami menjadi pasangan yang akan 'naik pangkat' dan memberikan ujian yang harus kami lewati dengan baik. Kami pun langsung akan melaksanakan program momongan dengan bantuan dan ridho Alloh melalui bantuan Dokter Syarief dan tim-nya.
Hari ini, tepat satu minggu saya menjalani masa pasca laparoskopi. Sore nanti jadwal saya untuk kontrol. Luka masih ditutup perban, namun alhamdulillah saya sudah bisa berjalan lancar walaupun masih harus sering istirahat, saya sudah bisa memasak untuk suami, menyiapkan baju kerjanya, sholat sudah kuat dengan berdiri meskipun perlahan. Sebelum mem-postkan tulisan ini saya teringat ayat Al-Qur'an yang cukup menguatkan hati yang tarjamahnya seperti ini :
"Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa ( QS.42 : 49-50).
Semoga segala niat baik dan ikhtiar yang ada akan membawa keluarga kami menuju ridho Alloh. April tahun ini akan menghantarkan kami menuju kehidupan yang lebih baik, bahagia, dan bersyukur...
Laparoskopi yang Diawali Rasa Lapar *hohoho...*
Tepat di tanggal pembuka April saya akan melakukan laparoskopi. Hari Jum'at tepatnya. Entah kebetulan atau tidak tapi di dalam sugesti saya, Jum'at adalah hari baik yang pasti memihak *self-suggestion sangat membantu saya mengurangi rasa cemas*. Berhubung tindakan laparoskopi akan dilaksanakan pada Jumat pagi, maka hari Kamis sebelumnya saya pun sudah harus masuk Rumah Sakit untuk melakukan serangkaian pemeriksaan pra-operasi. Mulai dari ambil darah untuk cek hasil laborat, suntikan uji alergi, suntikan mengurangi rasa cemas, suntikan semacam uji anastesi, mencukur pubes, dan puasa. Ya, saya harus berpuasa mulai dari Jumat dini hari pukul 02.00 WIB hingga waktu operasi. Saya yang terbiasa sarapan di pagi hari pun terpaksa harus menahan lapar dan satu lagi...tidak boleh minum juga, walaupun air putih. Allah, bisakah dibayangkan seperti apa rasanya bangun tidur dan tanpa air putih? Sudahlah, saya bersabar untuk itu. Rencana laparoskopi akan dimulai pukul 08.30. Sembari menanti waktu, suami terus mengajak saya berbincang dan bercanda. Saya tahu...beliau sedang membesarkan hati saya. Bapak dan ibu mertua juga sudah datang di Rumah Sakit sejak pagi untuk menemani. Mama papa menyusul kemudian karena hambatan di jalan yang membuat perjalanan mereka sedikit terhambat. Setidaknya kehadiran orang-orang tersayang sangat berarti bagi saya yang notabene tak pernah berurusan dengan kamar operasi ini.
Pukul 08.00 tepat dua orang suster datang ke kamar saya. Mereka membawakan baju ganti untuk di ruang operasi dan bersiap untuk membawa saya di ruang kamar operasi. Entah kenapa, saya tak mengalami rasa cemas, takut, dan khawatir yang berlebihan. Mungkin efek suntikan anti cemas tadi...atau mungkin memang kemantapan hati saya untuk ingin lekas sembuh, berikhtiar mengusahakan datangnya buah hati di keluarga kecil kami. Bapak Ibu mertua dan suami saya masih sempat mencium kening saya. Saya membalas dengan senyum simpul sambil menggenggam tangan suami. Saya dibawa melalui jalur belakang, sedang suami dan keluarga akan menyusul menunggu di depan ruang operasi melalui jalur yang berbeda. Sepanjang perjalanan menuju ruang operasi saya terus berdoa. Mengingat dan menyebut asma-Nya. Keramahan suster yang membantu membawa saya ke kamar operasi pun terasa sangat menghangatkan.
Sampailah saya dalam kamar operasi yang sebenarnya, setelah sebelumnya saya sempat 'transit' di kamar persiapan atau pra-operasi selama beberapa menit. Ruangannya benar-benar dingin. Kesibukan di kamar operasi mulai terasa, saya juga melihat dokter Syarief sudah ada disana. Lengkap dengan masker dan baju operasi serta tetap dengan keramahannya. Ada dokter anastesi juga yang sebelumnya telah bertemu saya saat di kamar rawat. Saya pasrah. Hidup mati dan segala skenario di hidup saya telah saya serahkan sepenuhnya kepada Alloh. Seorang suster berperawakan kurus dan tinggi menyentuh tangan saya, memasangkan selang infus, dan bersiap menyuntikan sesuatu. Dokter Syarief dan tim operasi membesarkan hati saya. 'Ngga apa-apa', 'Berdoa ya ibu...semoga semua lancar' itu adalah kalimat-kalimat yang terus mereka katakan. Hingga seorang suster menyuntikkan obat anastesi dalam selang infus saya sambil berkata, 'Kita mulai ya Ibu..jangan lupa berdoa. Selamat tidur, semoga mimpi indah' dan semuanya tiba-tiba gelap,saya juga tidak merasakan rasa ngantuk yang bertahap. Saya berada dalam kendali anastesi sepenuhnya.
Pasca Laparoskopi : Saya Merasa "Baru"
Saya memicingkan mata. Ruangan yang sangat terang menyilaukan mata saya. Suara suster berbincang terdengar jelas. Heii..sepertinya saya mulai sadar. Saya melihat jam dinding di depan saya menunjukkan pukul 11.40 dan saya membaca tulisan 'KAMAR PRA-OPERASI'. Saya berada di ruangan yang sama sebelum saya masuk kamar operasi tadi. Dua orang suster ada di samping saya dan menanyakan sesuatu, tapi entah saya belum bisa 'nyambung' menjawab pertanyaannya, kalimat pertama yang saya lontarkan adalah 'Operasinya lancar Sus?', saya mendengar suara saya sedikit serak, tenggorokan saya juga terasa gatal. Suster itu menjawab, 'Lancar Bu, kita kembali ke kamar ya'.
Saya yang berada di tempat tidur didorong keluar dari ruang operasi. Orang pertama yang saya lihat dengan jelas ada di depan ruangan itu adalah suami saya. Wajahnya sedikit tegang. Saya ingin menyapanya tapi tubuh saya terasa lemah. Saya hanya bisa tersenyum. Sesampainya di kamar rawat sepertinya kesadaran saya berangsur kembali. Ada sesuatu yang terasa mengganjal, rupanya ada kateter yang dipasang di organ kemih saya. Makanan sudah disiapkan suster di kamar, saya sudah boleh makan tanpa harus menunggu kentut. Perlahan saya mulai diajak ngobrol sembari disuapi. Saya bertanya kapan mama papa datang, kenapa di jalan, berapa lama waktu operasi saya, dan apakah operasi lancar. Suami saya menjawab dengan sabar. Laparoskopi yang saya jalani berlangsung selama kurang lebih tiga jam. Benar perkiraan saya tadi, saat saya keluar waktu menunjukkan pukul 11.40. Jika operasi dimulai pukul 08.30 berarti memang 3 jam waktu operasi saya. Suami saya juga bercerita, di tengah opearsi tadi seorang suster datang meminta tandatangannya sebagai persetujuan bahwa saya akan dikonsulkan ke dokter bedah yang kompeten karena rupanya telah terjadi perlengketan di usus. Entah bagaimana, tapi menurut cerita suami saya, usus saya masuk terjepit dalam kista dan telah terjadi perlengketan. Beliau mengaku khawatir dan cemas luar biasa, tapi merasa lega setelah operasi selesai dengan baik. Beliau juga bercerita sempat diperlihatkan kista saya yang sudah diangkat. Bentuknya seperti jaringan kulit yang tercabik-cabik, mungkin karena isi cairan di dalamnya sudah diambil. Apapun itu saya dan suami lega, satu langkah awal ikhtiar telah kami lewati.
Hari Sabtu sore, dokter Syarief datang visiting ke kamar saya diiringi oleh beberapa suster. Beliau menjelaskan jalannya operasi kemarin dan beberapa saran, diantaranya agar saya banyak makan jadi cepat pulih. Dokter Syarief juga sudah memperbolehkan saya lepas infus menghabiskan infus terakhir yang saya pakai serta melepas kateter pada keesokan paginya. Saya bersyukur, mengucapkan terimakasih kepada beliau dan saya merasa menjadi pribadi baru yang lebih bersemangat.
Minggu pagi suster datang, melepas kateter yang selama ini membatasi ruang gerak saya dan saya dianjurkan untuk berlatih jalan pelan-pelan. Saya senang dan tak sabar untuk segera turun dari tempat tidur. Saya juga mengatakan kepada suster bahwa saya tidak perlu lagi disibin, saya mau mandi sendiri. Perlahan-lahan kaki saya menapak lantai. Masih sesekali terasa ngilu tapi saya kuat menahan. Mandi berhasil saya lakukan sendiri, sarapan pagi, mengambil baju dan berganti pun juga bisa saya lakukan sendiri. Saat visit pagi itu Dokter Syarief juga sudah memperbolehkan saya untuk pulang dan recovery di rumah setelah perban yang menutup luka sayat laparoskopi di perut saya diganti. Bahagia...Setidaknya saya, suami, dan keluarga masih diberikan kekuatan oleh Alloh untuk terus berikhtiar. Harapan masih terbentang karena dokter mengatakan sel telur saya masih dihasilkan dengan normal, alhamdulillah rahim saya sudah 'diperbaiki' dan yang terpenting kami percaya bahwa penantian ini nantinya akan berbuah manis. Alloh sedang memilih kami menjadi pasangan yang akan 'naik pangkat' dan memberikan ujian yang harus kami lewati dengan baik. Kami pun langsung akan melaksanakan program momongan dengan bantuan dan ridho Alloh melalui bantuan Dokter Syarief dan tim-nya.
Hari ini, tepat satu minggu saya menjalani masa pasca laparoskopi. Sore nanti jadwal saya untuk kontrol. Luka masih ditutup perban, namun alhamdulillah saya sudah bisa berjalan lancar walaupun masih harus sering istirahat, saya sudah bisa memasak untuk suami, menyiapkan baju kerjanya, sholat sudah kuat dengan berdiri meskipun perlahan. Sebelum mem-postkan tulisan ini saya teringat ayat Al-Qur'an yang cukup menguatkan hati yang tarjamahnya seperti ini :
"Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa ( QS.42 : 49-50).
Semoga segala niat baik dan ikhtiar yang ada akan membawa keluarga kami menuju ridho Alloh. April tahun ini akan menghantarkan kami menuju kehidupan yang lebih baik, bahagia, dan bersyukur...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar