Beberapa hari yang lalu karena tuntutan tugas menjadi seorang abdi negara, saya berkunjung di sebuah pedukuhan terpencil yang (katanya) para warganya masih jarang tersentuh layanan publik. Yah…kondisi disana memang cukup mengagetkan saya yang notabene anak rumahan ini. Medan yang cukup sulit harus saya lewati sebelum sampai disana. Dengan kemampuan berkendara motor yang tidak begitu mahir, saya cukup terkaget-kaget dengan jalanan yang naik turun dengan curam, belokan yang mengejutkan, aspal yang tak rata, bahkan saya pun sempat mengalami telat oper gigi di tanjakan yang cukup mengkhawatirkan. Untunglah panic disorder saya sedang tidak kambuh saat itu *hehehe..
Finally…setelah perjalanan yang cukup mendebarkan dan menguras energi itu, sampailah saya di lokasi. Sebenarnya saya tak sendiri. Saya berangkat dengan tim penyuluh lain dengan konvoi motor. Sayangnya, hanya saya personil wanita yang terpaksa mengendarai motor sendiri karena yang lain berboncengan. Kami disambut dengan ramah oleh “pak bahu”, saya juga kurang tahu secara pasti apa arti dari “pak bahu” itu. Yang saya tahu, itu artinya si bapak ini termasuk tokoh masyarakat yang duduk di jajaran perangkat desa. Semacam “pejabat kecil” tingkat dusun. Suasana dukuh siang itu tak begitu ramai. Mungkin karena pada waktu kami datang, banyak warganya yang masih bekerja di sawah maupun di hutan. Pak bahu menjelaskan dukuh tersebut terdiri dari 4 RT, dengan jumlah rumah sekitar 170-an, dan jumlah kepala keluarga sekitar 400-an. Dari perhitungan tersebut dapat diasumsikan bahwa setiap rumah bisa jadi dihuni 2-3 kepala keluarga, bahkan ada yang 4 kepala keluarga. Fiuuuh…jumlah yang cukup “sesak” menurut persepsi saya karena sejauh pengamatan rumah mereka pun tak cukup untuk dapat dikatakan luas.
Petualangan kami dimulai. Misi kami adalah mensosialisasikan pentingnya program KB dan perencanaan keluarga bagi kehidupan masyarakat. Kebetulan juga, menjelang akhir bulan ini pemerintah daerah juga mengadakan program layanan MOP (Medis Operasi Pria) dan MOW (Medis Operasi Wanita) secara gratis bagi masyarakat yang membutuhkan. Dengan dipandu oleh seorang kader dan pak bahu, kami melakukan kunjungan dari rumah ke rumah. Tak jarang kami temui para ibu yang sedang berkumpul ngrumpi dan disitu pulalah sasaran empuk kami untuk melakukan penyuluhan.
Sebagaimana perkiraan saya, banyak diantara mereka yang menggunakan metode pil maupun suntik untuk ber-KB. Mereka harus membayar uang sekitar 13 ribu hingga 16 ribu untuk sekali suntik. Mereka pun mengeluhkan sebenarnya secara ekonomi hal itu terasa sangat mubadzir. Itu sebabnya tak jarang saat mereka sama sekali tak punya uang,mereka tidak ber-KB. Jadwal suntik ulang mereka abaikan, pil pun jarang dikonsumsi karena mereka sibuk memikirkan ‘mau makan apa hari ini?’. Akibatnya bisa ditebak, angka kelahiran di dukuh itu cukup tinggi. Sayangnya, hal itu tidak dibarengi dengan membaiknya kualitas hidup mereka.
Kami datang menawarkan alternatif lain untuk ber-KB. Melalui implan atau IUD sepertinya mereka tidak akan kerepotan “menjadwalkan diri” untuk pergi suntik atau minum pil secara teratur. Implan memiliki masa pakai 3 tahun, sedangkan IUD memiliki masa pakai 7 tahun. Mereka yang sudah memiliki jumlah anak lebih dari 3 dan berada pada tataran keluarga pra-sejahtera juga kami tawarkan untuk mengikuti program MOW/MOP. Semua layanan tersebut tak berbayar. Mereka hanya perlu membawa kartu Jamkesmas dan akan dilayani di puskesmas yang kebetulan berada pada kecamatan mereka.
Tak ada yang istimewa pada penyuluhan kami saat itu. Respon rata-rata dari masyarakat yang kami kunjungi di daerah manapun memang nyaris sama. Biasanya mereka merasa takut, malu, enggan untk mencoba cara baru dalam ber-KB. Kami sadar, membangkitkan insight masyarakat memang tidak mudah. Mengubah gaya lama menuju alternatif baru juga bukan hal gampang. Perlu pengetahuan, ketrampilan, dan gaya pendekatan komunitas yang sesuai. Apalagi pada saat ini kita senantiasa dibenturkan pada tataran hak reproduksi pada wanita. Tapi satu yang senantiasa menjadi cita-cita kami, memperbaiki kualitas hidup masyarakat melalui perencanaan kehidupan yang lebih baik.
Hingga pada akhirnya saya sampai di rumah salah seorang warga. Menurut informasi dari kader, rumah tersebut dihuni oleh ayah, ibu, dan 5 orang anak. Kaki saya berhenti di depan pintu rumah mereka. Rumah yang terbuat dari gedhek, lantainya dari tanah, tanpa meja kursi tamu. Terlihat onggokan baju entah bersih atau kotor di sudut rumah, ada kurungan ayam serta setumpuk daun kelapa di sudut yang lain. Sungguh saya merasa bangunan itu kurang layak untuk dapat disebut sebagai rumah. Kami disambut oleh pemilik rumah itu. Seorang wanita berusia 36 tahun yang tampak repot dengan menggendong anak bayinya. Disusul di belakangnya seorang anak kira-kira berusia 2 tahun yang tidak memakai celana, ber-ingus, dan masya Alloh (maaf) ada banyak borok di kepalanya. Saya sempat tercekat, hingga kemudian saya sadar dengan tugas saya. Saya mengajaknya berbincang, hingga pada akhirnya saya tawarkan berbagai kemudahan agar ibu tersebut mau berpartisipasi dalam ber-KB. Saya merasa, ibu ini benar-benar butuh bantuan. Anak pertamanya berusia 14 tahun dan sudah putus sekolah. Begitu pula dengan anak kedua dan anak ketiganya. Sang ayah sendiri bekerja sebagai pengumpul kayu di hutan.
“Tidak ada yang saya harapkan lagi mbak..dan saya yakin kami akan miskin selamanya. Anak saya yang pertama nanti setahun dua tahun akan saya nikahkan, semoga dapat orang kaya dan bisa bantu keluarga” curhat si ibu. Alloh…sungguh hati saya benar-benar teriris dengan pernyataan itu. Saya mencoba memberinya support dan semangat agar mereka bangkit dari kondisi itu. Ah, ilmu psikologi saya sangat terasa manfaatnya kala saya dihadapkan pada situasi seperti itu. Panjang lebar kami berbincang. Saya ber-empati dengan apa yang keluarga itu hadapi. Hingga akhirnya saya beranjak pamit karena waktu yang semakin menghimpit.
Dari pertemuan dengan keluarga itu saya belajar. Betapa masih beruntungnya saya dibanding mereka. Saya seakan di-ingatkan, betapa malunya saya masih sering menggugat Alloh dengan segala ketetapan-Nya padahal ada mereka yang jauh lebih tak berdaya. Tiba-tiba saya merasa, pekerjaan ini mungkin tak berarti bila saya tak mengiringinya dengan hati. Hikmah dari perjalanan kami saat itu adalah komitmen bahwa kami akan berusaha lebih dalam mengabdikan diri, menjaga generasi, dan tentu melapangkan hati kami untuk senantiasa bersyukur dalam segala kesempitan kami….Semoga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar