Lama saya malas menulis, ya..ini karena saya mulai ogah-ogahan menyalakan PC karena sibuk memikirkan nasib pertemuan saya dengan dokter Syarief yang selalu gagal. Dimulai dengan hari Jum’at minggu lalu dimana saya terjebak macet gila, hari Selasa dokter mengambil cuti mendadak *mungkin ada persalinan gawat*, dan hari Kamis yang terjadi miss communication dengan pihak RS sehingga saya salah jadwal. Intinya, tiga kali saya mencoba untuk kontrol bertemu dokter, tiga kali pula saya gagal menemuinya. Tapi jangan harap saya lelah mencoba, hari Jumat minggu ini saya masih tetap berusaha untuk menemui dokter saya yang super sibuk itu. Sesampai di RS, saya segera mendaftar dan menunggu di ruang yang telah disediakan. Tentu selalu ada suami yang setia di sisi saya. Sudut bangku yang lain saya juga melihat ada sepasang suami istri yang tampaknya juga sedang menunggu dokter Syarief. Lega...seperti ada temannya. Suster memanggil nama saya untuk di cek tensi dan berat badan. Tensi oke, baik. Tapi berat badan saya turun 1,5 kg dari data kontrol terakhir sebelum saya melakukan laparoskopi. Ini pasti karena saya malas makan, malas ngemil, dan karena saya hanya bengong di rumah selama bedrest tentu saya kepikiran kerjaan di kantor *uhukk..*.
Menit demi menit terlalui, dokter belum juga datang. Sudah hampir sejam dokter Syarief terlambat dari jadwal praktek. Saya lihat pasien sudah banyak yang menunggu. Ada sekitar 10 sampai 11 orang. Mimik wajah para suster mulai terlihat cemas. Saya dan suami tentu lebih cemas mengingat sudah seminggu saya terlambat kontrol, diiringi pula rasa kecewa karena selalu gagal bertemu dokter sebelumnya. Saya cuma bisa berdoa. Dada saya semakin berdesir setiap kali melirik ke arah ruangan para suster yang mengernyitkan alis, saling berbisik,...ah entahlah tapi saya yang masih bergelar sarjana psikologi ini bisa membaca bahwa mereka juga khawatir menanti kehadiran pak Dokter.
Jeng...jeng..jeng, yang ditunggu pun tiba. Dokter Syarief datang dengan tergopoh-gopoh memasuki ruangan. Arloji saya menunjukkan beliau terlambat 1 jam lebih 10 menit dari jadwal praktek yang ada. Sudahlah...yang penting saya hari ini bisa kontrol dan penantian kami tidak sia-sia. Satu per satu giliran pasien dipanggil memasuki ruangan untuk diperiksa. Hingga tiba giliran nama saya dipanggil pada urutan pasien ke-tiga. Saya dan suami bergegas memasuki ruangan. Dokter Syarief menyapa kami dengan ramah. Ya, keramahan ini yang sepertinya juga punya andil menciptakan antrian panjang para pasien. Saya katakan bahwa saya sudah telat kontrol seminggu,bla..bla..bla. Dokter Syarief hanya tersenyum hangat dan berkata, ‘Tidak ada keluhan khan bu?’. Saya menjawab, ‘Engga sih Dok, yah biasa klo masih suka sengkring-sengkring sesekali. Tapi kok saya kaya mens ya?dan darahnya banyak deres banget sampe saya lemes. Tapi siklusnya maju dari siklus haid yang biasanya’. Seminggu pasca laparoskopi memang saya merasakan saya seperti sedang haid. Tapi darahnya cukup banyak, berwarna lebih segar dari biasanya hingga saya terasa lemas *mungkin karena banyaknya darah itu dan kondisi saya yang belum fit sepenuhnya*, tapi kali ini tidak diiringi rasa sakit yang amat sangat seperti saat saya haid dulu. Kondisi “berdarah” itu tapi sudah berhasil membuat suami khawatir luar biasa. Rupanya menurut dokter Syarief itu hal biasa dan tidak perlu ada yang dikhawatirkan karena itu memang efek laparoskopi, jadi seakan seperti mens yang terkuras dan kondisi itu hanya akan berlangsung dengan jangka waktu seperti saat saya mengalami menstruasi. Mungkin sekitar seminggu. Baiklah, satu kecemasan terjawab.
Amplop hasil laboratorium PA saya serahkan kepada dokter Syarief. ‘Kita akan membahas hasilnya satu persatu’, begitu kata beliau. Oke, saya siap. Beliau membacakan hasil PA paragraf per paragraf. Ada banyak sekali uraiannya. Tapi yang sedikit nyantel di benak saya adalah ada sekitar 7 potong jaringan kista yang diambil dari ovari kanan kiri, ada perlengketan yang disebabkan oleh endometriosis, kista saya benar jenis endometriosis, dan ini yang terpenting...tidak ditemukan adanya sel ganas. Yaaah, banyak alhamdulillah saya ucapkan. Selepas membacakan hasil PA, dokter Syarief juga memberikan saran agar endometriosis saya ‘tuntas’ sembuhnya maka saya perlu diberikan suntikan Tapros. Ummm..baiklah, saya sudah sering googling tentang suntikan yang satu ini. Harganya tidak begitu murah, mungkin sekitar 1,7 hingga 2 koma sekian juta. Tapi kata dokter, jenis suntikan ini sepertinya termasuk daftar obat yang dapat di-klaim-kan Askes walaupun tidak ditanggung sepenuhnya. Patut bersyukur lagi untuk itu, Alhamdulillah... Oh iya, dokter juga sudah mewanti-wanti saya agar tidak panik setelah disuntik Tapros karena mungkin saja saya akan mengalami flek-flek atau mungkin ‘berdarah’ lagi sekitar satu atau dua minggu setelah pemberian suntikan dan setelah itu saya tidak akan haid. ‘Ready, saya siap menempuh apapun’, bisik hati saya. Dokter juga sedikit memberi angin segar dengan menjelaskan meski saya tidak haid setelah disuntik Tapros bukan berarti saya tidak subur. Saya tetap subur. Bahkan banyak kasus pasien yang justru hamil setelah suntikan pertama menuju jadwal suntikan kedua. Saat hamil, tidak perlu Tapros lagi tentunya. Waaa..hati saya seperti bersorak.
Sejauh ini...tidak ada masalah sampai kemudian saatnya dokter mengecek bekas luka laparoskopi saya sekaligus mengganti perbannya. Saya miris jika ingat bekas luka saya yang terletak di sebelah pusar. Dokter Syarief mulai membuka perban satu persatu. Beliau berkata sambil membersihkan dan mengoleskan salep anti keloid di bekas luka saya, ‘Oke, sudah bagus. Yang dua saya buka,tapi yang satu dekat lipatan dengan pangkal paha masih merah jadi ditutup dulu. Mandi juga udah bebas. Silahkan Bu, kalau mau liat’. Hah..saya masih ngeri ingat bekas luka itu saat perban saya diganti oleh bidan tetangga saya. Saya bilang, ‘Engga ah dok..ngeri masih item-item gitu khan kaya luka? Biar suami saya aja yang liat’.Dokter Syarief hanya tertawa sambil mengatakan, ‘Engga..beneran ngga apa-apa. Yang item-item itu cuma bekas salepnya aja’. Masa sih? Sampai akhirnya saya memberanikan diri untuk melihat ke arah perut saya. Hei...bener. Tidak ada luka yang menghitam itu. Bahkan sampai saat ini saya sama sekali tidak melihat bekas luka di sekitar pusar saya. Saya hanya melihat bekas kecil seperti luka terkena kuku di perut samping kiri saya. God...kenapa saya sampai tak doyan makan gara-gara kepikiran bekas luka fiktif yang waktu itu saya lihat. Benar rupanya. Laparoskopi hanya meninggalkan luka kecil pada anggota badan saya. Saya hanya perlu mengoleskan salep anti keloid di bekas luka yang tampak. Luka yang di sekitar pusar dan tidak tampak sama sekali saya olesi dengan sistem kira-kira *karena saya benar-benar tidak tahu mana bekasnya sampai detik ini*. Meskipun demikian, cukup...saya berharap dan berdoa semoga ini laparoskopi pertama dan terakhir yang saya alami.
Minggu ini saya sedang menjadwalkan diri untuk mulai berkenalan dengan Tapros. Semoga tidak perlu berlama-lama bertemu dengan suntikan itu. Jika saya boleh menawar tanpa menggugat jalan hidup yang sudah di-desain-kan Alloh, tentu akan lebih membahagiakan saat dana kesehatan saya nantinya dapat di-poskan untuk membeli perlengkapan bayi, membagi kebahagiaan dengan anak-anak panti, atau mungkin membawa saya dan suami ke Tanah Suci. Semoga...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar