Minggu, 23 Oktober 2011

Babies everywhere...none call me IBU


Babies..babies..babies, yaaah..objek itu yang akhir-akhir ini selalu spinning in my head. Sepertinya saya mulai terobsesi dengan makhluk lucu yang satu ini. Saat kunjungan kontrol (yang gagal) di Rumah Sakit jumat malam lalu, beberapa kali saya melihat bayi yang berseliweran bersama suster keluar masuk ruang bayi. Saya hanya bisa diam memandang mereka. Ahh..tapi saya tahu diam-nya saya ini sebenarnya sedang merepres suasana hati saya yang sedang bergejolak.  Teori Freud rupanya benar-benar bekerja saat itu. Malamnya saya bermimpi bertemu dengan bayi kembar yang sangat tampan. Mereka ada di boks bayi di sebuah ruangan berkaca. Saat saya melihat ke arah mereka, mereka tersenyum dan memanggil saya “Mama”. Salah satu bayi itu bahkan bisa bicara “Mama jangan sedih, kami ada untuk menjaga Mama”. That’s imposible...ngga mungkin khan di dunia nyata ada bayi kecil bisa bicara lancar *namanya juga mimpi*. Saya juga sebenarnya lebih suka dipanggil Ibu daripada Mama. Whatever, mimpi itu berhasil membuat saya sangat bahagia. Saya terbangun dan mendapati ada sisa-sisa air mata di bantal, mata saya juga basah rupanya. Ada rasa berdesir saat saya menyadari itu cuma mimpi...

Bayi adalah makhluk yang indah. Tapi terkadang kehadirannya tidak membawa kebahagiaan bagi orangtuanya. Pada kasus kehamilan yang tidak di-inginkan, pasti bayi menjadi makhluk yang tersudutkan. Saya ingat waktu itu saya pernah melakukan kunjungan rumah bersama seorang teman untuk mensosialisasikan program KB gratis bagi mereka yang membutuhkan. Sampailah kami di sebuah desa di dataran tinggi dengan medan tempuh yang tidak begitu mudah. Disana kami bertemu dengan seorang ibu yang sudah melahirkan sebanyak lima kali. Anak pertama ibu itu sudah berumur 20-an tahun. Kami bertemu langsung dengan ibu tersebut. Ada seorang bayi yang digendongnya. Usia bayi itu baru 5 bulan. Cantik, berkulit bersih dan tampak sehat. Kami dipersilahkan masuk rumahnya. Rumah yang sangat sederhana. Kami menjelaskan tentang program yang dirancang pemerintah itu. Sepanjang obrolan kami sampailah pada bagian dimana ibu itu bercerita bahwa sebenarnya anak yang ada dalam gendongannya itu tidak diharapkan. “Saya ini kebobolan ceritanya mbak...gara-gara telat minum pil. Saya ngga pernah pengen punya bayi ini. Saya pernah usaha buat nggugurin dia waktu di kandungan tapi ngga bisa. Mana ni anak suka rewel tiap harinya”.Hati saya teriris luar biasa. Saya menginginkan kehadiran bayi di rahim saya dan ibu ini pernah berusaha menghilangkan nyawa bayi yang sudah Alloh anugerahkan kepadanya. Bukankah membahagiakan diberi kepercayaan sebesar itu? Kepercayaan yang bukan main-main karena langsung dari Alloh yang menentukan. Saya tercenung. Saya pandangi bayi dalam gendongan ibu itu. Bayi itu tertawa terkekeh sambil memandangi saya *entah apa yang ditertawakannya*, cantik sekali. Bahkan saat saya berbincang dengan ibunya, bayi itu ikut menceracau. Saya berkata pada ibu tersebut “Bersyukurlah bu, ini anugerah. Saya aja pengen banget punya bayi selucu ini masa ibu yang udah dikasih kepercayaan mau nyia-nyia-in? Atau bayi ini boleh buat saya”. Ibu itu hanya tersenyum kecut.

Pengalaman bertemu bayi itu saya ceritakan kepada suami di malam harinya dan menjadi tema perbincangan kami menjelang tidur. Saya ceritakan juga saat bayi itu tertawa terkekeh saat melihat saya dan ikut menceracau saat saya bicara. Jawaban suami saya cukup menggelikan. Beliau bilang “Mungkin bayinya geli kali...liat ibu penyuluhnya masih kecil jadi dikira temannya juga”. Saya tertawa. Saya pun bertanya, “Kenapa ya Alloh memberikan bayi kepada mereka yang berpacaran bebas sebelumnya , kepada mereka yang tidak siap menerima kehadiran bayi karena kondisi ekonominya, kepada mereka yang tega mendidik anak-anak dengan kata-kata dan perilaku kasarnya?”. Suami saya memandang lekat-lekat. Beliau menjawab, “Pertanyaan itu dan kondisi yang kamu ceritakan adalah sarana supaya kamu senantiasa berpikir atas tanda-tanda dan peristiwa yang Alloh berikan. Jangan lupa bersyukur”.  Saya terdiam untuk beberapa saat hingga akhirnya keluar jawaban yang kata suami saya cukup cerdas *GR sama suami sendiri pasti tak dilarang :nyengir:*. Saya jawab, “Alloh sedang mendidik umat-Nya melalui ujian-ujian ‘kenaikan pangkat’. Bentuk ujiannya beda-beda, hasilnya pun beda-beda. Itu artinya kita harus kuat biar bisa naik pangkat”. Saya menyambung jawaban, “Anak kita masih di jalan-jalan menikmati surga ya pi..tapi nanti pasti suatu saat bakalan turun nemenin kita. Kita cuma perlu berdoa biar si dedek cepet turun ke bumi”

Ada banyak bayi di dunia ini. Saya sering melihatnya saat bolak-balik ke rumah sakit, di posyandu desa binaan saya saat bertugas, di taman bermain tengah kota, di mall, di bus, di panti asuhan, mereka ada dimana-mana di tengah jagad raya yang luas ini. Tapi sayangnya di antara mereka tidak ada satupun yang memanggil saya Ibu...Saya tidak patut bersedih untuk itu karena saya yakin Alloh sudah menggariskan yang terbaik bagi kami. Ya, saya yakin bayi kami masih dipersiapkan oleh Sang Pencipta dan masih asyik jalan-jalan di surga-Nya.“Nikmati itu nak, Bapak dan Ibu sedang mempersiapkan diri agar saat kau hadir nanti kami bisa mendidikmu dengan hati”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar