Senin, 19 Desember 2011

Rumah Tangga : Perjuangan Tak Kenal Masa

Memutuskan untuk berumahtangga itu artinya kita telah mengikatkan diri ke dalam perjanjian mulia dengan Dzat Yang Maha Menggenggam Jiwa.

Usia pernikahan kami baru 1 tahun 4 bulan, dengan masa pacaran yang hanya 3 bulan. Tapi kata siapa usia pernikahan muda selalu penuh warna ceria? Tidak, kami pun ‘pernah’ melewati masalah-masalah yang penuh airmata *lebay dikit* sepanjang perjalanan kami. Saat saya sakit dan terpaksa bersahabat dengan Rumah Sakit, itu masa-masa menyedihkan. Saat saya kelimpungan menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan baru yang ‘berbeda’ dengan lingkungan saya sebelumnya, itu pun juga masa-masa sulit. Saat suami mengalami ‘gegar status’ dari bujang gaul menuju suami yang baik luar biasa, itu pun penuh kerikil tajam. Saat saya harus mahir mengatur keuangan dan mengurangi ke-compulsive buyer-an seperti masa-masa gadis, itu pun perjuangan yang cukup bikin dongkol *hehehe*. Yaa...kami bersyukur dengan apa yang pernah dan akan kami lewati ke depan nanti.

Rumah tangga memang perjuangan luar biasa. Rumah tangga adalah perjuangan yang tidak mengenal masa. Perjuangan sepanjang hayat. Perjuangan yang penuh cinta. Bagaimana tidak, setiap harinya pasti kita akan bertemu dengan hal-hal baru dari pasangan yang mungkin pada awalnya terasa mengejutkan. Tidak rapi saat mengambil baju di lemari, lupa menaruh handuk, meletakkan koran sembarangan, tidak cuci kaki saat hendak tidur, asyik di depan TV atau blackberry tanpa menghiraukan pasangan...sepertinya menjadi hal yang amat sangat menjengkelkan bagi kita pasangan pemula. Disinilah perjuangan itu dimulai. Itu baru masalah yang ‘ngga ada apa-apanya’, saya yakin buaaanyak masalah lain yang lebih besar stressor-nya dibanding hal-hal macam itu.

(Mungkin) ada banyak lawan jenis yang lebih menarik di luar sana. Lebih mapan, menarik secara fisik, baik...itu menurut kita. Jika kita tidak memperjuangkan hati dan rumahtangga kita, saya yakin tahap berikutnya adalah adanya upaya-upaya pembandingan antara ‘sosok luar’ itu dengan pasangan kita. Parahnya lagi jika berupaya untuk mendekati ‘sosok luar’ yang mempesona itu dan tidak sadar untuk semakin dekat dengan zina. Na’udzubillah...

Kami sedang memulai perjuangan kami. Kami sedang memperjuangkan cinta kami agar tetap berada dalam cinta Illahi. Kami sedang memperjuangkan masing-masing diri kami untuk tetap terikat dalam tali Alloh hingga di akhirat nanti. Kami sedang berjuang memperbaiki diri agar kelak siap menyambut dan mengasuh buah hati, mempersiapkan generasi rabbani yang takut akan Alloh, mengagumi Rasulullah, bertutur lembut dan berhati tulus, serta bermanfaat bagi umat.

“Ya Alloh...Ya Rabbana, kami serahkan cinta dan jiwa ini kepada-Mu. Tiada pintu yang akan kami ketuk selain pintu-Mu, tiada sesuatu yang akan kami perjuangkan semata-mata hanya demi ridho dan restu-Mu. Ya Alloh...jadikan langkah-langkah kecil kami sebagai perjalanan untuk menggapai tangga cinta-Mu. Jadikan pasangan kami sebagai jodoh yang Engkau pilihkan. Jangan biarkan kami terserak...kumpulkan kami di surgamu kelak. Karuniakan kepada kami putra-putri yang sholih-sholihah. Yang mencintai dan kami cintai. Jangan biarkan kami berputus asa dan tak lagi percaya terhadap doa-doa kami. Kami mencintai buah hati kami, bahkan sebelum Engkau amanahkan kepada kami. Sesungguhnya hanya Engkaulah Dzat Yang Maha Mengabulkan segala Pinta”

Jumat, 09 Desember 2011

Oleh-oleh Diklat Prajab

Sudah hampir 2 minggu di rumah pasca mengikuti diklat prajabatan, tapi seperti biasa baru sempat ngeposting hohoho. 17 hari yang tak terlupakan. Ada lucu-lucuan, ada serius-seriusan (ngga serius beneran dong hihi..), ada haru, ada bete...komplit gado-gado semua di sini. Entah kenapa waktu terasa sangat cepat saat diklat. Kita mulai kegiatan jam setengah 5. Kebayang dong ya, si dhita yang biasanya jam segitu masih mlungker harus udah dandan rapih buat aerobik. Otomatis jam 3, setengah 4 dini hari udah harus mandi. Pengen nangis kenceng deh awalnya. Tapiii....lama-lama udah terbiasa asik-asik aja tuh. 

Aerobik dan jalan jauh *bukan jogging lagi ah namanya -_- selesai jam 05.45, engga sempet mandi dong ya coz jam 6.15 udah ngumpul lagi di lapangan buat apel pagi. Alhasil tissue basah adalah teman baik sesudah olahraga pagi :)

Sarapan dimulai. Duduk siap grak, tanpa suara saat menyantap, kurangi dentingan sendok dan piring. Menunya sehat sih, ngga heran kalo teman-teman pada nambah berat badannya. Except me! gimana ngga sedih coba, lauknya ayam, telor...khawatir itu produk dari ayam suntikan *parno deh saya. Alhasil tiap dapat menu, teman sebelah yg dapet sampur buat ta hibahin ayam ato telor segede gaban itu hihihi

Kelar sarapan, langsung masuk kelas...full pelajaran dimulai dari jam 07.30 sampe kadang jam 20.00, selingan coffebreak, makam siang dan makan malam. Ngantuk di kelas itu wajar dan manusiawi, tidur di kelas pun acapkali termaafkan. Tapi suka geli kalau ingat nasehat salah satu binsuh di sana, "Boleh ngantuk, boleh tidur, tapi mata tidak boleh terpejam". Gimana caranya coba? Stock permen saya harus full buat ngurangi ngantuk saat di kelas.

Apel malam dimulai biasanya jam 20.15, tapi kadang penah juga sampe pukul 21.00 tergantung jadwal kegiatan pada hari itu. Ngantuk pasti, tapi sampe kamar belum bisa langsung tidur. Musti bikin resume materi dulu, masih harus mandi juga, masih ngerumpi juga sama temen sekamar. Jam 23.00 ke atas baru deh bisa pulasss

17 hari terlewati, harus nglewati ujian dulu. Sehari sebelum ujian padahal jadwal padaaaat, sempat kepikiran kaya mana harus belajar padahal materi seabreg, buku ngga pernah kebaca karena keburu ngantuk saat di kamar. Sistem Kebut Semalam jadi satu-satunya metode belajar yang paling yahud saat itu. Tapi rupanya cara itu gagal juga karena SAYA KETIDURAN! hiks...hiksss...panik, baru kebangun saat subuh, jadi total waktu belajar saya paling hanya kurang dari 2 jam. Modal bismillah dan doa mama,papa, ibu, bapak, juga suami adalah senjata terbaik saat itu. Agak panik sebenarnya saat suami bilang, "Ngawur sekali hon..masa belajar cuma dua jam kurang, dulu jamanku pada begadang loh belajarnya sampe pagi...pasti teman-temanmu juga udah pada begadang tuh belajarnya". Grrrrgh! Suamiku objektif sekali komentarnya...

Dag-dig-dug saat nunggu pengumuman kelulusan, apalagi ternyata eh ternyata...pengumumannya ditunda sampe esok pagi alias sebelum pelepasan pulang. Huwaaa, gimana kalo harus remidi coba. Sampe akhirnya si Bapak panitia Diklat mengumumkan siapa-siapa saja yang dapat peringkat di kelas. Aah, saya sih pasrah..peduli amat sama rangking, yang penting lulus tanpa remidi itu udah cukup. "Ada 70 orang lulus dengan predikat Baik Sekali, 39 lulus dengan predikat baik, dan 1 orang....." (Bapak itu diam menunda kalimatnya), deg-deg-deg jangan-jangan 1 itu ngga lulus *dasar su'udzon :p, si Bapak melanjutkan kalimatnya..."1 orang lulus dengan predikat Memuaskan serta meraih nilai tertinggi di antara satu senat 52,53 dan 54 ini". Teman-teman mulai riuh...Pengumuman dilanjutkan, kebetulan angkatan 52 yang notabene kelas saya berhasil meraih nilai rata-rata paling tinggi dari kelas lain...daaaan peringkat 1 dari angkatan 52 sekaligus lulusan satu-satunya dengan predikat Memuaskan adalah dari Badan PP dan KB Kabupaten Batang..teman-teman riuh menyebut nama saya. Respon saya? "Hellooo...ngga mungkin saya-lah, belajar aja kurang -_-". Ternyata benar, "Anindhita Setianingrum, S.Psi" sebut Bapak itu. Waaaah, alhamdulillahi Ya Alloh, masih diberi amanah untuk menyandang predikat itu. Gembira tentu. Yang jelas itu adalah oleh-oleh untuk orang rumah dan instansi.

eng..ing..eng, ini hasilnya :)

Puluhan sms dan bbm masuk ke hape saya mengucapkan selamat, sms dari kepala dinas, rekan kerja, mama papa, bapak ibu, dan suami saya yang objektif itu tentunya. Saya pikir, keobjektifan suami itu adalah caranya untuk melecut semangat saya dalam menghadapi tantangan (hihihi...luvyew much mas). Yang pasti ada banyaaak oleh-oleh yang lebih menarik daripada selembar surat kelulusan dengan predikat Memuaskan itu. Oleh-oleh saya yang lain adalah puluhan saudara dari berbagai daerah yang sangat hangat, nilai-nilai ke-positif-an selama diklat, badan yang lebih sehat (kata suami perut saya jadi slim selama prajab, badan juga lebih langsing hihihi), dan satu lagi....kulit yang lebih 'berwarna' (rajin upacara sih!). Alhamdulillaaah...nikmat mana lagi yang saya dustakan ya Alloh :)


Jumat, 11 November 2011

11-11-11 : Palindrom dan Diklat Srondol

Tepat hari ini, tanggal 11 November 2011 cukup rame dibincangkan sebagian kalangan. Ya, 11-11-11. Triple eleven tentu tanggal yang mudah di-ingat, cantik dan unik. Entah ada berapa undangan pernikahan yang saya terima hari ini namun keadaan membuat saya tidak dapat menghadiri dan berbagi kebahagiaan dengan mereka, alhasil jejaring sosial menjadi media terhangat untuk dapat mengirim ucapan dan sekutip doa buat kawan-kawan tercinta. Kembali ke 11 November 2011, rekan-rekan saya yang menikah pada hari ini tentu beranggapan bahwa tanggal cantik akan mendatangkan keberuntungan, beberapa dari mereka juga beranggapan Jum'at adalah hari yang penuh berkah sehingga tak ada masalah untuk menikah pada hari ini.

Ternyataaa...ada lagi nih anggapan lain yang mengatakan kalau tanggal 11-11-11 itu justru mendatangkan kesialan. Analisis fengshui menyebut bahwa pada tanggal tersebut, elemen Bumi berupa api Yang dan elemen langit berupa logam Yang. Karena elemen api dan logam saling merusak, maka hari itu dianggap hari yang tidak baik, apalagi untuk menikah.

So, mana yang benar yah? tentu kembali ke keyakinan dan pendapat mereka masing-masing. Tapi sebenarnya yang terjadi pada 11-11-11 adalah palindrom. Apa itu palindrom? Palindrom adalah susunan angka, kata, atau frase yang bila dibaca dari depan ataupun belakang tetap aja sama :)

Coba baca yang ini : 
* level
*Madam, I'm Adam
*kasur rusak
*katak
*malam
*aku suka

Baca terbalik? sama aja khan bunyinya?  Dalam sejarah dari dulu sampai saat ini palindrom angka dianggap memiliki makna tertentu. Apa benar? Dari sudut pandang psikologi, cara manusia memaknai angka cantik mungkin hanya "apophenia". Hal itu artinya bahwa manusia selalu berusaha mencari arti di balik data yang random. Tidak aneh tentunya karena manusia memiliki potensi kognitif yang luar biasa untuk selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam benak, menganalisa, dan memberikan arti secara personal.

Kurang lebih seperti itu gambaran tentang tanggal yang sedang dilewati hari ini. Palindrom memang selalu menarik untuk di-utak-atik. Tapi yang jelas, pada hari pula saya sedang harus melaksanakan diklat prajabatan di Badan Diklat Srondol kurang lebih 17 hari namanya. Jadiiii, mau tidak mau saya pasti akan mengingat tanggal ini sebagai kenangan bahwa saya pada waktu tanggal 11-11-11 tidak sedang berada di rumah, menguatkan hati meninggalkan suami di rumah sendiri, dan membiasakan diri dengan aturan yang mungkin terasa 'mengagetkan' pada awalnya.
Nikmati saja...nikmati palindrom ini, nikmati situasi diklat ini, nikmati persaudaraan yang ada di Srondol ini. Tentunya juga nikmati saat-saat menyenangkan seperti sekarang ini, kapan lagi bisa nge-blog saat diklat kalo bukan di jam TIK *hohohoho...

Tak lupa teriring salam dan doa untuk teman-teman tercinta yang menyatukan cintanya di jalan Alloh pada hari ini. Maaf yaaah...kondisi yang membuat saya tidak dapat hadir, tapi apapun itu segala kebahagiaan semoga akan berlimpah untuk kalian. Salam :)

Sabtu, 29 Oktober 2011

(sempat) Akrab dengan Tapros


Here we go...akhirnya punya waktu untuk kembali bercerita setelah disibukkan dengan persiapan materi pelatihan untuk para siswa SMP *love this side job so much...full content psychology :)

Masih ingat dengan terapi TAPROS yang disarankan oleh dr. Syarief? Ya, saya sudah melawati terapi itu kira-kira 6 bulan yang lalu *hohoho...telat bgt yah critanya, tapi gpp deh ya daripada tidak sama sekali. Terapi suntik tapros untuk saya pada waktu itu dilakukan 3 kali. 2 minggu setelah laparoskopi...ummmm, kira-kira tanggal 20-an April saya mulai disuntik Tapros. Seperti cerita saya yang lalu, sekali suntikan harganya kira-kira 1,3-1,8 juta. Tapi untunglah obat injeksi ini ditanggung sepenuhnya oleh ASKES *bersyukur jadi PNS sekaligus istri PNS*. Dokter bilang nanti akan ada efek-efek yang mungkin kurang nyaman, misalnya nih...bisa jadi ada gangguan BAK atau BAB, bisa juga ngrasa hot-flush, ngga nyaman lah pokonya... Tapi kok rasa-rasanya di bulan pertama itu saya ngga ngerasa efek apa-apa yah. Alhamdulillah sejak laparoskopi malah ngga pernah lagi tuh ada gangguan BAB atau pun BAK. Semua berjalan lancar pada bulan pertama terapi Tapros ini. Dokter Syarief pernah bilang, masih ada kemungkinan langsung hamil di Tapros pertama ini. Tapi sayang, rupanya Alloh belum memberi kesempatan kami untuk diberikan amanah secepat itu. Saya percaya hanya Alloh yang tahu kapan waktu itu akan indah pada saatnya.

Setelah melewati bulan pertama Tapros, kembali sekitar tanggal 20-an di bulan Mei saya harus kontrol. Sebelum diberi suntikan tapros emang harus di-USG dulu. Selain untuk ngecek kondisi endo-nya, juga buat tau apakah kita udah hamil karena Tapros ini ngga boleh dipake untuk ibu hamil. Bulan kedua pasca laparoskopi, masih belum hamil juga. Oke, tapros kedua pun diberikan daaaan...tampaknya efek obat ini mulai terasa.

Setelah melewati bulan kedua dengan Tapros ini efek-nya mulai terasa. Efek utama tentu saja engga haid *suka bikin perasaan melambung, Ge-eR kali aja hamil'. Dengan ngga haid ini diharapkan sel-sel endometriosis yang bandel itu ngga aktif lagi dan mengering. Kurang lebih gitu sih penjelasannya. Oke, saya mulai merasakan badan yang sakit-sakit pegel gitu, utamanya di tulang belakang. Mulai gampang cape, tapi Alhamdulillah ngga ada gangguan BAB-BAK sebagaimana yang diramalkan ;) Mungkin bener sih kalo Tapros itu ngga boleh diberikan dalam jangka panjang karena kata dokter bisa ngaruh ke tulang. Dari klaim Askes juga cuma dibolehin 6 kali suntik, dan untuk kasus saya dokter hanya menyarankan 3 kali karena abis itu direncanakan buat langsung baby program jadi si endometriosis bandel itu ngga muncul lagi.

Bulan ke-3 (Juni), masih belum haid tentunya dan masih suka ngrasain pegel-pegel dan linu-linu di tulang. Mood juga nge-swing cepet benerrrr, hohoho...suami tercinta yang jadi sering kena omelan cuma gara-gara masalah kecil *hormon terpengaruh banget-lah*. USG di bulan ke-3 belum menunjukkan tanda-tanda kehadiran si mungil kecil janin impian kami. Yasudalah, memang saatnya suntik Tapros lagi. Dari layar USG mulai kelihatan rahim yang 'terang' artinya udah bersih (insyaAlloh) dan ada beberapa semacam perlengketan bekas endometriosis dulu tapi mulai menipis. Dokter bilang udah ngga ada masalah. Diperkirakan haid saya akan kembali normal pada akhir Agustus atau awal September barulah baby program bisa dimulai.  Alhamdulillah, tepat di akhir bulan Agustus si 'bulan' mulai datang sebagaimana yang diperkirakan dokter.
Tetap berjuang demi mendapatkan tawa itu

Perjuangan kami belum berakhir ;)

Minggu, 23 Oktober 2011

Prosesi Bebenah Selesai...Welcome Niu Blog !!!

Finally...proses 'usung-usung' lebih tepatnya lagi menghimpun tulisan yang tercecer di blog sebelumnya telah usai. Sepertinya harus mulai mencatat setiap password blog yang saya miliki *parah...ah, kebanyakan blog malah pusing. Eniwei, dengan bertekad kuat untuk kembali rajin menulis dan keterbatasan ingatan dalam menghimpun blog per kategori peminatan mulai malam ini saya putuskan untuk menuangkan apapun di 'rumah' blog saya yang baru. Semoga bermanfaat bagi rekan-rekan semuaaaanya dan tentu bermanfaat untuk saya sendiri hohohoho

Bayangkan, hampir 5 bulan tidak produktif menulis sungguh-sungguh membawa dampak yang menyedihkan *lebay* hehehehe...setidaknya menulis,nge-blog,atau apapun istilahnya terbukti ampuh menyalurkan emosi yang kurang bersahabat. Setidaknya saya akan menguraikan beberapa faktor yang (saya alami) bikin seseorang jadi ogah-ogahan menulis :

1. Sibuk luar biasa, susah membagi waktu, capek 
Bagi saya yang menyandang banyak status peran (istri, anak, commuter, pedagang, ummm...terkadang jadi pasien) tentu agak kerepotan meluangkan waktu untuk sekedar mampir ngeblog *lihat efek parahnya : lupa password*. Berangkat pagi karena bekerja di kota sebelah, sibuk di kantor, pulang saatnya berperan sebagai ibu rumah tangga setia sekata hohohoho...

2. Lingkungan yang tidak mendukung
Rumah yang 'rame' dengan suara-suara yang menimbulkan distress sedikit banyak bikin mood menulis jadi ilang. Belum lagi kalo suami udah leyeh-leyeh di kasur sambil nyalain AC, plus nonton film pula! Ya Alloh..benar-benar godaan luar biasa *mending nyusul di kasur dah!

3. Sarana yang kurang bersahabat
Koneksi internet yang kaya siput, PC gantian sama suami *padahal punya laptop sendiri tapi tetep aja enak pake PC suami*, dan ini nih yang biasanya terjadi...kadang ide menulis itu muncul tanpa mengenal ruang dan waktu, pengen cepet-cepet dituangin akhirnya pake dah tuh notepad-nya Blackberry. Tapiiii...jadi males nerbitin entri gara-gara tulisan di BB itu kecil-kecil *alasan banget ngga tuh?*

4. Benda-benda penggoda di sekitar kita
DVD, Blackberry dengan fasilitas IM dan jejaring sosial lainnya, kasur, remote AC, TV....itulah beberapa benda dari sekian banyak godaan yang ada.

Sepertinya, alasan-alasan di atas adalah pernyataan yang seringkali dikambing-hitamkan atas ke-engganan kita dalam menulis...hohoho, dan sepertinya semakin malam semakin banyak alasan-alasan konyol yang saya buat. Apapun itu...selamat menikmati 'rumah baru' saya. Semoga jadi semangat buat tetap rajin menulis. Oh iya, selama kosong 5 bulan ini ada buaaanyak banget loh hal-hal baru dan seru yang belum dicritain. Ada pengalaman bersahabat dengan Tapros selama 3 bulan, pertemuan dengan dokter X yang menyebalkan *grrrgh*, curhatan teman tentang pengalaman hamilnya yang bermasalah, sampe kesibukan baru yang cukup menyenangkan bagi saya. Ah...dunia tetap penuh warna, apalagi dengan mensyukuri setiap detik nikmat-Nya.

Paragraf penutupnya mari diakhiri dengan kalimat : Ayo...Jangan malas nge-blog!!! hihihihi...Salam ;)

Ada Haru di Ruang Tunggu


Beberapa hari yang lalu saat saya berada pada antrian ruang tunggu praktik dokter, saya bertemu dengan seorang wanita mungkin berumur 35 tahun ke atas datang bersama gadis berumur kira-kira belasan tahun. Mereka duduk di samping saya, sama-sama menunggu giliran untuk dipanggil tentunya. Saya tersenyum ke arah wanita itu dan mulai ‘sok akrab’ karena sama-sama jenuh menunggu. Kami berbincang sederhana pada awalnya. Mulai bertanya nama, tinggal dimana, hingga kesibukan kami sehari-hari. Hingga akhirnya tentu saja bermuara pada obrolan kenapa kita datang menemui dokter. Saya jelaskan padanya bahwa saya harus kontrol karena saya baru saja menjalani laparoskopi karena kista endometriosis. Wanita itu lalu bertanya, ‘Udah nikah berapa lama mbak? Udah punya putra?’. ‘Wah, saya baru nikah 8 bulan Bu. Doakan pasca LO ini bisa cepet punya momongan ya’, jawab saya waktu itu. Wanita itu tersenyum, ‘Semoga cepet punya momongan ya..Mbak khan masih muda, sama-sama saya juga sedang berusaha buat punya baby’. Dari situlah kisah dimulai...

Wanita itu datang ke dokter karena sedang mengusahakan momongan rupanya.Ia memulai ceritanya, ‘Saya tidak tahu apa yang terjadi pada diri saya. Sudah puluhan dokter saya datangi, tapi jawabannya tidak ada yang memuaskan. Katanya sel telur saya baik-baik saja. Sudah pernah persiapan operasi tapi katanya tidak ada yang perlu dioperasi karena “tidak ada apa-apa”. Masalah saya waktu haid Mbak. Saya setiap haid selalu kesakitan dan transfusi darah. Darah haid saya juga seperti tidak normal. Besar-besar seperti hati ayam. Sering waktu sekolah dulu saya pingsan dan perdarahan banyak sekali karena haid’. Saya menimpali, ‘Mungkin ada kista Bu? Saya masalahnya juga waktu haid sakit banget meskipun tidak seperti Ibu’. Wanita itu menjawab, ‘Belum ada dokter yang bilang saya kista, miom, atau apa. USG juga katanya bersih. Entahlah...’. Saya terdiam. Bingung hendak berkata apa karena saya juga bukan dokter.

Wanita itu melanjutkan kisahnya, ‘Sudah 8 tahun saya menikah Mbak. Tapi saya belum hamil juga. Baru-baru ini saya mencoba inseminasi buatan dengan biaya yang tidak sedikit, tapi sepertinya ada masalah dan tidak berhasil. Wah..saya udah datang ke puluhan dokter. Entah sudah berapa biaya yang saya keluarkan sampai tidak saya perdulikan. Saya dan suami kesepian Mbak...dan ini anak yang nemenin saya ini -*menunjuk gadis di sebelahnya*- udah saya anggap seperti anak saya sendiri karena hanya dia teman saya saat dirumah. Saya sampai keluar dari pekerjaan dan karier saya yang udah lumayan karena saya ingin fokus ikhtiar mendapatkan putra. Dari hasil pemeriksaan, sperma dan organ reproduksi suami tidak ada masalah. Sudah 8 tahun kami menikah Mbak, bukan lagi 8 bulan seperti Mbak’, tutur wanita itu. Saya lihat air mata mulai menggenang di sudut matanya hingga akhirnya menetes.  Ya, wanita itu menangis. Saya bisa merasakan kerinduan dan harapan yang membumbung tinggi dari setiap air matanya yang jatuh. Ada keharuan di dada saya. Ah, menangis bagi wanita seperti virus yang cepat menular. Air mata juga menggenang di mata saya. Saya katakan, ‘Sabar Bu. Jangan putus asa. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Alloh’. Saya yakin...kata ‘sabar’ pasti sudah puluhan, ratusan, atau bahkan ribuan kali wanita itu dengar. Wanita itu mengusap air matanya. Lagi-lagi saya terdiam. Saya hanya menggengam tangan wanita yang baru saya kenal itu dan memberikan senyum. Saya bisa merasakan apa yang ia rasakan. Saya yang belum setahun menikah saja sudah merindukan ada janin di rahim saya, ingin merasakan sensasi gerakan bayi yang terasa ‘aneh’ sebagaimana cerita rekan-rekan wanita saya saat mereka mengandung, merasakan morning sick atau perut yang katanya terasa kencang saat kehamilan menua. Saya dan wanita di samping saya itu masih terdiam. Seakan kami sedang menghayati perasaan kami masing-masing. Hingga akhirnya nama saya dipanggil untuk diperiksa dan saya berpamitan sambil berkata kepada wanita itu, ‘Jangan pernah lelah ya Bu. Alloh selalu ingin lihat Ibu sebagai umatnya yang kuat dan hebat. Wanita yang terpilih’. Wanita itu tersenyum sambil mengucapkan terimakasih.

Sepanjang perjalanan pulang saya terngiang kisah wanita di ruang tunggu tadi. Betapa dari ceritanya ia sudah berusaha kuat untuk mendapatkan momongan. Pekerjaan dan karier yang bagi wanita dianggap sebagai simbol aktualisasi diri pun berani dikorbankannya. Demi sebuah kehamilan dan bayi yang lahir dari rahimnya. Tapi kenapa, bagi mereka wanita yang dimudahkan jalan kehamilannya seringkali mengeluh dan tidak bersyukur? Saya sering sekali membaca keluhan di status jaringan sosial milik teman-teman wanita saya yang sedang mengandung. Ada yang tersiksa karena morning sickness-lah, lelah muntah-muntah, tidak enak badan, perut kenceng-kenceng, badan pegel-pegel, ngga bisa makan enak, dan berbagai keluh kesah yang lain. Bukankah semua yang mereka rasakan itu sensasi wajar yang dialami oleh wanita hamil? Oke, kalaupun mereka merasa tidak nyaman dengan itu semua atau merasa bermasalah dengan yang mereka alami, bukankah lebih bijak jika mereka menelpon dokter kandungannya, atau datang ke tempat prakteknya dan tidak mengeluh di akun jaringan pertemanan mereka? Tadinya saya berpikir, mungkin saya cemburu dengan kehamilan mereka. Namun setelah perbincangan di ruang tunggu itu saya sadar, keluh kesah yang dilontarkan dan dieksploitasi oleh para wanita hamil bisa jadi menyakiti mereka para wanita yang sedang berikhtiar ‘lebih’ untuk mendapatkan kehamilannya.

Ruang tunggu dokter saya pastinya sudah sesak oleh berbagai kisah dan juga haru di dalamnya. Seperti kisah wanita tadi. Atau mungkin haru seorang ibu yang sedang memandang foto USG janinnya. Ya, ada haru dan kerinduan para wanita yang mendambakan buah hatinya, yang tidak lelah mengusahakannya. Saya berdoa...semoga mereka yang sedang merentas jalan ikhtiar pada akhirnya akan berakhir haru tak terkira melihat ada kehidupan dalam rahimnya, menimang buah hati cintanya. Semoga kerinduan itu berakhir bahagia.

Saya, Bekas Luka, dan Tapros


Lama saya malas menulis, ya..ini karena saya mulai ogah-ogahan menyalakan PC karena sibuk memikirkan nasib pertemuan saya dengan dokter Syarief yang selalu gagal. Dimulai dengan hari Jum’at minggu lalu dimana saya terjebak macet gila, hari Selasa dokter mengambil cuti mendadak *mungkin ada persalinan gawat*, dan hari Kamis yang terjadi miss communication dengan pihak RS sehingga saya salah jadwal. Intinya, tiga kali saya mencoba untuk kontrol bertemu dokter, tiga kali pula saya gagal menemuinya. Tapi jangan harap saya lelah mencoba, hari Jumat minggu ini saya masih tetap berusaha untuk menemui dokter saya yang super sibuk itu. Sesampai di RS, saya segera mendaftar dan menunggu di ruang yang telah disediakan. Tentu selalu ada suami yang setia di sisi saya. Sudut bangku yang lain saya juga melihat ada sepasang suami istri yang tampaknya juga sedang menunggu dokter Syarief. Lega...seperti ada temannya. Suster memanggil nama saya untuk di cek tensi dan berat badan. Tensi oke, baik. Tapi berat badan saya turun 1,5 kg dari data kontrol terakhir sebelum saya melakukan laparoskopi. Ini pasti karena saya malas makan, malas ngemil, dan karena saya hanya bengong di rumah selama bedrest tentu saya kepikiran kerjaan di kantor *uhukk..*.

Menit demi menit terlalui, dokter belum juga datang. Sudah hampir sejam dokter Syarief terlambat dari jadwal praktek. Saya lihat pasien sudah banyak yang menunggu. Ada sekitar 10 sampai 11 orang. Mimik wajah para suster mulai terlihat cemas. Saya dan suami tentu lebih cemas mengingat sudah seminggu saya terlambat kontrol, diiringi pula rasa kecewa karena selalu gagal bertemu dokter sebelumnya. Saya cuma bisa berdoa. Dada saya semakin berdesir setiap kali melirik ke arah ruangan para suster yang mengernyitkan alis, saling berbisik,...ah entahlah tapi saya yang masih bergelar sarjana psikologi ini bisa membaca bahwa mereka juga khawatir menanti kehadiran pak Dokter.

Jeng...jeng..jeng, yang ditunggu pun tiba. Dokter Syarief datang dengan tergopoh-gopoh memasuki ruangan. Arloji saya menunjukkan beliau terlambat 1 jam lebih 10 menit dari jadwal praktek yang ada. Sudahlah...yang penting saya hari ini bisa kontrol dan penantian kami tidak sia-sia. Satu per satu giliran pasien dipanggil memasuki ruangan untuk diperiksa. Hingga tiba giliran nama saya dipanggil pada urutan pasien ke-tiga. Saya dan suami bergegas memasuki ruangan. Dokter Syarief menyapa kami dengan ramah. Ya, keramahan ini yang sepertinya juga punya andil menciptakan antrian panjang para pasien. Saya katakan bahwa saya sudah telat kontrol seminggu,bla..bla..bla. Dokter Syarief hanya tersenyum hangat dan berkata, ‘Tidak ada keluhan khan bu?’. Saya menjawab, ‘Engga sih Dok, yah biasa klo masih suka sengkring-sengkring sesekali. Tapi kok saya kaya mens ya?dan darahnya banyak deres banget sampe saya lemes. Tapi siklusnya maju dari siklus haid yang biasanya’. Seminggu pasca laparoskopi memang saya merasakan saya seperti sedang haid. Tapi darahnya cukup banyak, berwarna lebih segar dari biasanya hingga saya terasa lemas *mungkin karena banyaknya darah itu dan kondisi saya yang belum fit sepenuhnya*, tapi kali ini tidak diiringi rasa sakit yang amat sangat seperti saat saya haid dulu. Kondisi “berdarah” itu tapi sudah berhasil membuat suami khawatir luar biasa. Rupanya menurut dokter Syarief itu hal biasa dan tidak perlu ada yang dikhawatirkan karena itu memang efek laparoskopi, jadi seakan seperti mens yang terkuras dan kondisi itu hanya akan berlangsung dengan jangka waktu seperti saat saya mengalami menstruasi. Mungkin sekitar seminggu. Baiklah, satu kecemasan terjawab.

Amplop hasil laboratorium PA saya serahkan kepada dokter Syarief. ‘Kita akan membahas hasilnya satu persatu’, begitu kata beliau. Oke, saya siap. Beliau membacakan hasil PA paragraf per paragraf. Ada banyak sekali uraiannya. Tapi yang sedikit nyantel di benak saya adalah ada sekitar 7 potong jaringan kista yang diambil dari ovari kanan kiri, ada perlengketan yang disebabkan oleh endometriosis, kista saya benar jenis endometriosis, dan ini yang terpenting...tidak ditemukan adanya sel ganas. Yaaah, banyak alhamdulillah saya ucapkan. Selepas membacakan hasil PA, dokter Syarief juga memberikan saran agar endometriosis saya ‘tuntas’ sembuhnya maka saya perlu diberikan suntikan Tapros. Ummm..baiklah, saya sudah sering googling tentang suntikan yang satu ini. Harganya tidak begitu murah, mungkin sekitar 1,7 hingga 2 koma sekian juta. Tapi kata dokter, jenis suntikan ini sepertinya termasuk daftar obat yang dapat di-klaim-kan Askes walaupun tidak ditanggung sepenuhnya. Patut bersyukur lagi untuk itu, Alhamdulillah... Oh iya, dokter juga sudah mewanti-wanti saya agar tidak panik setelah disuntik Tapros karena mungkin saja saya akan mengalami flek-flek atau mungkin ‘berdarah’ lagi sekitar satu atau dua minggu setelah pemberian suntikan dan setelah itu saya tidak akan haid. ‘Ready, saya siap menempuh apapun’, bisik hati saya. Dokter juga sedikit memberi angin segar dengan menjelaskan meski saya tidak haid setelah disuntik Tapros bukan berarti saya tidak subur. Saya tetap subur. Bahkan banyak kasus pasien yang justru hamil setelah suntikan pertama menuju jadwal suntikan kedua. Saat hamil, tidak perlu Tapros lagi tentunya. Waaa..hati saya seperti bersorak.

Sejauh ini...tidak ada masalah sampai kemudian saatnya dokter mengecek bekas luka laparoskopi saya sekaligus mengganti perbannya. Saya miris jika ingat bekas luka saya yang terletak di sebelah pusar. Dokter Syarief mulai membuka perban satu persatu. Beliau berkata sambil membersihkan dan mengoleskan salep anti keloid di bekas luka saya, ‘Oke, sudah bagus. Yang dua saya buka,tapi yang satu dekat lipatan dengan pangkal paha masih merah jadi ditutup dulu. Mandi juga udah bebas. Silahkan Bu, kalau mau liat’. Hah..saya masih ngeri ingat bekas luka itu saat perban saya diganti oleh bidan tetangga saya. Saya bilang, ‘Engga ah dok..ngeri masih item-item gitu khan kaya luka? Biar suami saya aja yang liat’.Dokter Syarief hanya tertawa sambil mengatakan, ‘Engga..beneran ngga apa-apa. Yang item-item itu cuma bekas salepnya aja’. Masa sih? Sampai akhirnya saya memberanikan diri untuk melihat ke arah perut saya. Hei...bener. Tidak ada luka yang menghitam itu. Bahkan sampai saat ini saya sama sekali tidak melihat bekas luka di sekitar pusar saya. Saya hanya melihat bekas kecil seperti luka terkena kuku di perut samping kiri saya. God...kenapa saya sampai tak doyan makan gara-gara kepikiran bekas luka fiktif yang waktu itu saya lihat. Benar rupanya. Laparoskopi hanya meninggalkan luka kecil pada anggota badan saya. Saya hanya perlu mengoleskan salep anti keloid di bekas luka yang tampak. Luka yang di sekitar pusar dan tidak tampak sama sekali saya olesi dengan sistem kira-kira *karena saya benar-benar tidak tahu mana bekasnya sampai detik ini*. Meskipun demikian, cukup...saya berharap dan berdoa semoga ini laparoskopi pertama dan terakhir yang saya alami.

Minggu ini saya sedang menjadwalkan diri untuk mulai berkenalan dengan Tapros. Semoga tidak perlu berlama-lama bertemu dengan suntikan itu. Jika saya boleh menawar tanpa menggugat jalan hidup yang sudah di-desain-kan Alloh, tentu akan lebih membahagiakan saat dana kesehatan saya nantinya dapat di-poskan untuk membeli perlengkapan bayi, membagi kebahagiaan dengan anak-anak panti, atau mungkin membawa saya dan suami ke Tanah Suci. Semoga...

Babies everywhere...none call me IBU


Babies..babies..babies, yaaah..objek itu yang akhir-akhir ini selalu spinning in my head. Sepertinya saya mulai terobsesi dengan makhluk lucu yang satu ini. Saat kunjungan kontrol (yang gagal) di Rumah Sakit jumat malam lalu, beberapa kali saya melihat bayi yang berseliweran bersama suster keluar masuk ruang bayi. Saya hanya bisa diam memandang mereka. Ahh..tapi saya tahu diam-nya saya ini sebenarnya sedang merepres suasana hati saya yang sedang bergejolak.  Teori Freud rupanya benar-benar bekerja saat itu. Malamnya saya bermimpi bertemu dengan bayi kembar yang sangat tampan. Mereka ada di boks bayi di sebuah ruangan berkaca. Saat saya melihat ke arah mereka, mereka tersenyum dan memanggil saya “Mama”. Salah satu bayi itu bahkan bisa bicara “Mama jangan sedih, kami ada untuk menjaga Mama”. That’s imposible...ngga mungkin khan di dunia nyata ada bayi kecil bisa bicara lancar *namanya juga mimpi*. Saya juga sebenarnya lebih suka dipanggil Ibu daripada Mama. Whatever, mimpi itu berhasil membuat saya sangat bahagia. Saya terbangun dan mendapati ada sisa-sisa air mata di bantal, mata saya juga basah rupanya. Ada rasa berdesir saat saya menyadari itu cuma mimpi...

Bayi adalah makhluk yang indah. Tapi terkadang kehadirannya tidak membawa kebahagiaan bagi orangtuanya. Pada kasus kehamilan yang tidak di-inginkan, pasti bayi menjadi makhluk yang tersudutkan. Saya ingat waktu itu saya pernah melakukan kunjungan rumah bersama seorang teman untuk mensosialisasikan program KB gratis bagi mereka yang membutuhkan. Sampailah kami di sebuah desa di dataran tinggi dengan medan tempuh yang tidak begitu mudah. Disana kami bertemu dengan seorang ibu yang sudah melahirkan sebanyak lima kali. Anak pertama ibu itu sudah berumur 20-an tahun. Kami bertemu langsung dengan ibu tersebut. Ada seorang bayi yang digendongnya. Usia bayi itu baru 5 bulan. Cantik, berkulit bersih dan tampak sehat. Kami dipersilahkan masuk rumahnya. Rumah yang sangat sederhana. Kami menjelaskan tentang program yang dirancang pemerintah itu. Sepanjang obrolan kami sampailah pada bagian dimana ibu itu bercerita bahwa sebenarnya anak yang ada dalam gendongannya itu tidak diharapkan. “Saya ini kebobolan ceritanya mbak...gara-gara telat minum pil. Saya ngga pernah pengen punya bayi ini. Saya pernah usaha buat nggugurin dia waktu di kandungan tapi ngga bisa. Mana ni anak suka rewel tiap harinya”.Hati saya teriris luar biasa. Saya menginginkan kehadiran bayi di rahim saya dan ibu ini pernah berusaha menghilangkan nyawa bayi yang sudah Alloh anugerahkan kepadanya. Bukankah membahagiakan diberi kepercayaan sebesar itu? Kepercayaan yang bukan main-main karena langsung dari Alloh yang menentukan. Saya tercenung. Saya pandangi bayi dalam gendongan ibu itu. Bayi itu tertawa terkekeh sambil memandangi saya *entah apa yang ditertawakannya*, cantik sekali. Bahkan saat saya berbincang dengan ibunya, bayi itu ikut menceracau. Saya berkata pada ibu tersebut “Bersyukurlah bu, ini anugerah. Saya aja pengen banget punya bayi selucu ini masa ibu yang udah dikasih kepercayaan mau nyia-nyia-in? Atau bayi ini boleh buat saya”. Ibu itu hanya tersenyum kecut.

Pengalaman bertemu bayi itu saya ceritakan kepada suami di malam harinya dan menjadi tema perbincangan kami menjelang tidur. Saya ceritakan juga saat bayi itu tertawa terkekeh saat melihat saya dan ikut menceracau saat saya bicara. Jawaban suami saya cukup menggelikan. Beliau bilang “Mungkin bayinya geli kali...liat ibu penyuluhnya masih kecil jadi dikira temannya juga”. Saya tertawa. Saya pun bertanya, “Kenapa ya Alloh memberikan bayi kepada mereka yang berpacaran bebas sebelumnya , kepada mereka yang tidak siap menerima kehadiran bayi karena kondisi ekonominya, kepada mereka yang tega mendidik anak-anak dengan kata-kata dan perilaku kasarnya?”. Suami saya memandang lekat-lekat. Beliau menjawab, “Pertanyaan itu dan kondisi yang kamu ceritakan adalah sarana supaya kamu senantiasa berpikir atas tanda-tanda dan peristiwa yang Alloh berikan. Jangan lupa bersyukur”.  Saya terdiam untuk beberapa saat hingga akhirnya keluar jawaban yang kata suami saya cukup cerdas *GR sama suami sendiri pasti tak dilarang :nyengir:*. Saya jawab, “Alloh sedang mendidik umat-Nya melalui ujian-ujian ‘kenaikan pangkat’. Bentuk ujiannya beda-beda, hasilnya pun beda-beda. Itu artinya kita harus kuat biar bisa naik pangkat”. Saya menyambung jawaban, “Anak kita masih di jalan-jalan menikmati surga ya pi..tapi nanti pasti suatu saat bakalan turun nemenin kita. Kita cuma perlu berdoa biar si dedek cepet turun ke bumi”

Ada banyak bayi di dunia ini. Saya sering melihatnya saat bolak-balik ke rumah sakit, di posyandu desa binaan saya saat bertugas, di taman bermain tengah kota, di mall, di bus, di panti asuhan, mereka ada dimana-mana di tengah jagad raya yang luas ini. Tapi sayangnya di antara mereka tidak ada satupun yang memanggil saya Ibu...Saya tidak patut bersedih untuk itu karena saya yakin Alloh sudah menggariskan yang terbaik bagi kami. Ya, saya yakin bayi kami masih dipersiapkan oleh Sang Pencipta dan masih asyik jalan-jalan di surga-Nya.“Nikmati itu nak, Bapak dan Ibu sedang mempersiapkan diri agar saat kau hadir nanti kami bisa mendidikmu dengan hati”.

Jum'at : Rame Rasanya !!!


Jumat pekan ini..tepat satu minggu pasca laparoskopi dilakukan. Itu artinya saya harus ke rumah sakit dan bertemu dokter untuk kontrol perdana. Semangat luar biasa. Diperkirakan hasil laborat PA juga sudah dapat diambil untuk dikonsultasikan dengan dokter yang berkompeten. Tapiii..traffic jam membuat kacau segalanya. Saya terjebak kemacetan di jalan hingga berjam-jam. Jarak menuju Rumah Sakit yang biasanya bisa ditempuh hanya dalam waktu kurang dari 1 jam berubah menjadi 5 jam. Saya frustasi luar biasa. Badan saya keringat dingin padahal AC mobil dinyalakan. Saya tahu saya merasakan itu karena cemas. Saya cemas karena jadwal dokter yang akan segera berakhir dan itu artinya jadwal kontrol saya batal. Saya sudah berusaha menghubungi Rumah Sakit untuk memberikan tenggang waktu dan menahan dokter menunggu saya. Tapi benak saya sebenarnya berkata sendiri ‘Emang Rumah Sakit bapak kamu?’ ...ah, memang sudah tidak mungkin. Toh kalaupun dokter menunggu saya, saya sendiri pun tidak tahu akan terperangkap di kemacetan ini sampai berapa lama dan akan tiba di Rumah Sakit pukul berapa. Saya cuma bisa pasrah.

Lima jam kemudian saya baru sampai di Rumah Sakit. Sesuai dugaan, praktek dokter sudah tutup *ya iyalah...telat jadwalnya aja hampir 2 jam!*. Saya cuma berpikir perban pembungkus luka bekas laparoskopi saya tampaknya sudah harus diganti. Ada rembes di bagian tertentu. Inisiatif untuk mengganti di UGD tampaknya solusi terbaik. Tapi lagi-lagi saya ‘beruntung’ luarrrr biasa. UGD sangat hiruk-pikuk, suasana tampak sibuk, dan tidak ada seorang pun di bagian triage. Saya pikir tak ada orang karena pas jam pergantian shift atau mungkin memang semua personil sedang harus mengatasi kegawatan di UGD. 15 menit menunggu saya dan suami mulai tak sabar. Suami pun berinisiatif membeli saja semacam perban plastik sebagaimana yang saya pakai di apotik dan nantinya perban saya yang rembes ini biarlah diganti bu bidan tetangga kami dan menutup episode Jumat malam itu dengan rasa yang nano-nano .

Setelah melewati kejadian Jumat itu, kali ini saya berusaha keras menanamkan sugesti positif untuk diri saya sendiri : “Jumat kali ini tampaknya sangat bersahabat...bagaimana tidak? Alloh mengajarkan saya untuk menambah stok sabar dengan diberikannya rasa sulit di tengah rasa sakit. Satu hari yang terasa menjengkelkan pasti akan digantikan dengan ribuan hari yang membahagiakan”.

Perban bekas laparoskopi saya sudah diganti oleh bidan tetangga pagi tadi. Lukanya sudah hampir mengering. Hanya di bagian yang dekat dengan bagian pusar masih terlihat ‘parah’ *sounds mengerikan-kah?hehehe...i mean luka di bagian ini memang yang paling lebar*. Selasa pekan depan saya akan mengganti jadwal kontrol yang terlewatkan. Rumah Sakit juga barusan menelpon kalau hasil PA saya sudah selesai dikerjakan. Berharap semuanya baik-baik saja dan sepertinya saya harus terus menambah stok sabar saya di level full grade. Tidak hanya sampai di Selasa depan tapi terus menerus sepanjang jatah kontrak saya di dunia belum berakhir. Alloh sedang mentraining saya agar kelak saat saya dipanggil ibu, anak-anak akan merasa nyaman dengan ketersediaan sabar yang dimiliki ibunya...

Membuka April dengan Laparoskopi


Laparoskopi...? Apa pula itu? Pada awalnya saya yang bukan alumnus Fakultas Kedokteran ini tidak perduli sama sekali bahkan tidak pernah mendengar istilah itu di telinga saya. Namun, kejadian beberapa bulan terakhir ini membuat saya harus benar-benar menjelajah berbagai sumber untuk mengetahui apa itu Laparoskopi.

Pertemuan yang Menjawab
Cerita dimulai saat awal Februari tahun ini saya dan suami secara tak sengaja bertemu dengan salah seorang dokter obgyn yang bertugas bersama mama di Rumah Sakit. Dokter Hari namanya. Beliau adalah dokter yang cukup senior dan berpengalaman di bidangnya. Kami saling menyapa dan seperti biasa,ngobrol kesana-kemari hingga akhirnya saya memberanikan diri untuk bertanya. 'Dok, saya udah nikah 7 bulan kok belum ada tanda-tanda hamil yah?', tanya saya waktu itu. Si dokter dengan enteng menjawab, 'Ah, baru juga 7 bulan. Kemaren waktu nikah aku juga datang ya. Emang udah pengen banget ya? umm..yang patut diwaspadai itu kalo setahun belum ada tanda-tanda kehamilan'. Tak mau kalah saya pun menjawab, 'Tapi saya beneran deh Dok pengen punya baby. Biar nanti anakku panggil Dokter dengan sebutan Eyang Dokter'. Dokter Hari pun 'mengalah'. Beliau bersedia memeriksa saya dan suami. Satu per satu pertanyaan dilontarkan. Diantaranya, apakah kami tinggal serumah, apakah kerja kami cape *emang ada kerja yg ngga cape?*, siklus haid, keputihan,bla..bla..bla. Sepertinya sampai disini tidak ada masalah berarti, hingga akhirnya Dokter Hari menanyakan 'Kamu kalo haid sakit ngga?'. Haaah, pertanyaan macam apa pula itu..dengan sangat tegas,sigap,tanpa pikir panjang dan lantang saya jawab 'Amat sangat sakit Dok!'. Dokter Hari mulai mengernyit. Feeling saya berkata mungkin ini jawaban dari segala kebimbangan dan kekhawatiran kami selama ini.

Pemeriksaan USG
Dokter Hari segera mengajak saya untuk melakukan pemeriksaan USG, benar saja...Dokter yang notabene cukup dekat dengan keluarga kami itu kaget saat mulai meletakkan alat entah apa namanya di perut saya. Saat melihat layar,beliau berkata "Ada kista di rahimmu. Tidak cuma satu, duplex dan ini yang selalu membuatmu kesakitan luar biasa saat haid, sudah sampai diameter 7 cm, atasi segera". Saya diam, benar-benar diam. Pikiran saya kemana-mana. Saya ingat sekitar 3 atau 2 tahun lalu pernah melakukan USG karena saya sakit luar biasa saat haid. Tapi hasil USG saya baik. Bersih. Saya hanya dinyatakan mengalamidysmenorhea primer, hanya perlu pereda nyeri, bukan gejala klinis serius, dan diduga saat sudah menikah nanti rasa sakit saat haid saya akan berkurang. Itu kata dokter yang memeriksa saya waktu itu. Sekarang, saya harus menerima kondisi bahwa rupanya ada kista di rahim saya dan itu mengagetkan. Saya melihat ke arah suami saya. Lelaki itu tetap teduh dan tenang. Pandangan matanya seakan mengatakan "Tidak ada apa-apa,kamu baik-baik saja".

Coping Stress yang Kacau
Saya masih diam saat Dokter Hari menuliskan surat rujukan untuk salah seorang dokter ahli kandungan lain dengan gelar sub-spesialis yang disandang. Saya masih diam. Segala urusan administrasi diselesaikan oleh suami saya. Saya masih terpaku. Tapi saya ingat masih sempat mengucapkan terimakasih kepada Dokter Hari untuk berpamitan pulang, dan beliau berkata "Sabar, semoga ada jalan keluar terbaik". Keluar dari ruangan itu saya baru bisa menangis.

Kehidupan saya pada hari berikutnya seakan mulai berbeda. Emosi saya naik turun, labil, dan sangat reaktif. Tapi itu tidak mengubah jadwal keseharian saya. Saya tetap bekerja, saya tetap menempuh perjalanan pulang pergi kira-kira sejauh 75 km dengan bis untuk pergi ke kantor, saya tetap melakukan tugas penyuluhan, saya tetap melayani suami, saya tetap menempatkan posisi dan tanggung jawab atas status yang saya sandang. Namun satu yang tidak bisa dibohongi, pikiran saya terpaku pada kista yang ada pada rahim, dan buruknya itu membuat saya semakin sering diserang gejala nyeri pada bagian bawah perut.

Emosi saya kacau, buruk. Akibatnya, saya sering marah dan sangat sensitif dengan kondisi di lingkungan sekitar saya hingga beberapa waktu. Tapi suami saya tetap sabar. Beliau membesarkan hati saya dan selalu mengingatkan agar saya selalu bersyukur atas karunia yang telah Alloh berikan kepada kami. Keadaan semakin memburuk saat datang bulan saya tiba. Saya frustasi luar biasa. Perut saya seakan diremas-remas, badan saya demam tinggi, kepala saya pusing, mual dan muntah tidak pernah berhenti. Saya semakin merasa menstruasi pasti akan membunuh saya. Benar-benar tidak berdaya. 

Menurut saya , kualitas kehidupan saya menurun. Hati saya tercabik saat melihat suami tersakiti secara tak sengaja saat emosi saya labil. Saya berpikir, segalanya harus diperbaiki. Saya mencoba menerima kenyataan bahwa saya mengidap kista, saya bertekad untuk sembuh, saya berniat untuk selalu menjaga keadaan emosi dan fisik saya, saya tidak ingin menyakiti hati suami, saya ingin menimang buah hati kami, dan saya harus bertemu dengan dokter yang direkomendasikan oleh Dokter Hari. Yaa...saya harus kuat menghadapi semuanya! Problem focus coping saya berkembang...saya menelusuri berbagai sumber tentang kista, utamanya kista endometriosis yang saya idap, serta laparoskopi yang disebut oleh Dokter Hari sebagai metode untuk mengangkatnya. Semangat sembuh mulai berpijar.

Secercah Harapan di Selasa Sore
Hingga akhirnya tekad saya sudah bulat. Saya akan bertemu dengan dokter rujukan. Ajakan saya disambut dengan penuh dukungan oleh suami tercinta. Saya pun menelpon rumah sakit dimana dokter tersebut berpraktek. Rumah sakit swasta yang cukup ternama di ibukota provinsi. Kebetulan hari itu adalah hari Selasa dan tepat bersamaan dengan jadwal praktek dokter tersebut. Sepulang kantor, saya dan suami pun bergegas mendatangi Rumah Sakit tersebut.

Sesampai di sana dan mendaftar sebagai pasien, saya masih menunggu antrian. Suami tidak pernah melepaskan genggaman tangannya. Beliau bertanya, 'Tangan kamu dingin, takut?'. Saya hanya menjawab dengan senyum simpul saya. Saya yakin, tanpa menjawab pun beliau tahu persis apa yang saya rasakan saat itu. Tak beberapa lama, nama saya dipanggil masuk. Suami mengiringi langkah saya untuk memasuki ruang dokter. Dokter itu menyambut kami dengan hangat. Entah kenapa rasa canggung dan takut hilang seketika. Dokter Syarief namanya. Beliau orang yang sangat komunikatif, responsif, smart dan ramah. Oleh dokter Syarief saya pun di USG ulang. Tepat sekali. Hasil diagnosis dokter Syarief menyokong diagnosa dokter Hari sebelumnya. Kissing chysta endometriosis *entah benar atau tidak tulisannya*  intinya bentuk kistanya 'berciuman',saling dempet, dan sepertinya ada perlengketan di beberapa tempat. Dokter Syarief menyarankan agar kista itu segera diangkat karena letaknya yang ternyata ada di balik rahim sering membuat saya kesakitan luar biasa saat haid. Hal ini juga yang mungkin menyebabkan hingga 7 bulan pernikahan kami tak juga ada tanda kehamilan. Kista itu mendesak saluran telur sehingga menghambat proses pembuahan. Saya pun menduga mungkin beberapa tahun lalu saat USG saya dinyatakan bersih sebenarnya kista itu sudah ada, namun karena letaknya yang ada di balik rahim dan masih berukuran kecil menyebabkan samar dan tak tampak *yang terakhir ini diagnosa ngasal saya yang berdasarkan sistem kira-kira..hehehe*

Dokter Syarief juga menjelaskan secara detail bagaimana kista itu terbentuk. Menurut beliau dan juga menurut beberapa jurnal asing yang saya baca, kista tidak dapat ditentukan sebabnya. Beberapa penelitian menyatakan bahwa itu disebabkan oleh polutan, seringnya mengkonsumsi daging merah, faktor hormonal, faktor genetik, dan kasusnya acapkali ditemui pada wanita langsing dengan body massa indeks yang rendah *berat badan saya memang di bawah rata-rata ukuran BMI normal*. Tapi semua faktor itu masih kabur, belum ada yang dapat menjelaskan secara pasti. Akan tetapi, kista endometriosis terbentuk karena darah haid yang seharusnya keluar malah masuk berputar kembali ke rongga perut dan rahim serta mengendap menjadi kista dan menempel di jaringan endometrium. Kurang lebih seperti itu penjelasannya *maklum jika tak begitu tepat karena latar belakang pendidikan saya dari psikologi*. Kista endometriosis maupun kista jenis lain sendiri bisa diangkat melalui metode laparoskopi. Dokter Syarief menjelaskan panjang lebar tentang apa itu laparoskopi. Berbekal pengetahuan dan jurnal yang saya baca melalui internet tentang laparoskopi, diskusi kami terasa 'nyambung' dan semakin meyakinkan hati saya.

Laparoskopi merupakan teknik pembedahan yang dilakukan dengan membuat dua atau tiga lubang kecil (diameter 5-10 milimeter) di sekitar perut pasien. Satu lubang pada pusar digunakan untuk memasukkan sebuah alat yang dilengkapi kamera untuk memindahkan gambar dalam rongga perut ke layar monitor, sementara dua lubang lain digunakan untuk peralatan bedah yang lain.  Laparoskopi juga meminimalkan resiko, mempercepat pemulihan, dan mengurangi nyeri pascaoperasi. Rawat inap pun tak perlu berlama-lama, estetika bekas operasi pun tetap terjaga karena minim jahitan.

Saya mantap segera menentukan hari kapan laparoskopi akan dijadwalkan. Tapi dokter Syarief menyarankan agar saya terus mencari informasi tentang laparoskopi sembari pikir-pikir kapan jadwal yang tepat. Saya sedang berada pada titik sibuk pekerjaan pada waktu itu, dokter Syarief sendiri juga dalam waktu dekat hendak bepergian ke luar negeri berkaitan dengan profesinya. Beliau memberi saran agar menjadwalkan laparoskopi setelah saya haid karena laparoskopi tidak dapat dilakukan saat pasien sedang haid. Kami pun sepakat, hanya perlu bertemu dengan beliau selama 2 hingga 3 kali lagi, diberikan surat pengantar untuk operasi, dan ikhtiar medis kami siap dilakukan.


Laparoskopi yang Diawali Rasa Lapar *hohoho...*
Tepat di tanggal pembuka April saya akan melakukan laparoskopi. Hari Jum'at tepatnya. Entah kebetulan atau tidak tapi di dalam sugesti saya, Jum'at adalah hari baik yang pasti memihak *self-suggestion sangat membantu saya mengurangi rasa cemas*. Berhubung tindakan laparoskopi akan dilaksanakan pada Jumat pagi, maka hari Kamis sebelumnya saya pun sudah harus masuk Rumah Sakit untuk melakukan serangkaian pemeriksaan pra-operasi. Mulai dari ambil darah untuk cek hasil laborat, suntikan uji alergi, suntikan mengurangi rasa cemas, suntikan semacam uji anastesi, mencukur pubes, dan puasa. Ya, saya harus berpuasa mulai dari Jumat dini hari pukul 02.00 WIB hingga waktu operasi. Saya yang terbiasa sarapan di pagi hari pun terpaksa harus menahan lapar dan satu lagi...tidak boleh minum juga, walaupun air putih. Allah, bisakah dibayangkan seperti apa rasanya bangun tidur dan tanpa air putih? Sudahlah, saya bersabar untuk itu. Rencana laparoskopi akan dimulai pukul 08.30. Sembari menanti waktu, suami terus mengajak saya berbincang dan bercanda. Saya tahu...beliau sedang membesarkan hati saya. Bapak dan ibu mertua juga sudah datang di Rumah Sakit sejak pagi untuk menemani. Mama papa menyusul kemudian karena hambatan di jalan yang membuat perjalanan mereka sedikit terhambat. Setidaknya kehadiran orang-orang tersayang sangat berarti bagi saya yang notabene tak pernah berurusan dengan kamar operasi ini.


Pukul 08.00 tepat dua orang suster datang ke kamar saya. Mereka membawakan baju ganti untuk di ruang operasi dan bersiap untuk membawa saya di ruang kamar operasi. Entah kenapa, saya tak mengalami rasa cemas, takut, dan khawatir yang berlebihan. Mungkin efek suntikan anti cemas tadi...atau mungkin memang kemantapan hati saya untuk ingin lekas sembuh, berikhtiar mengusahakan datangnya buah hati di keluarga kecil kami. Bapak Ibu mertua dan suami saya masih sempat mencium kening saya. Saya membalas dengan senyum simpul sambil menggenggam tangan suami. Saya dibawa melalui jalur belakang, sedang suami dan keluarga akan menyusul menunggu di depan ruang operasi melalui jalur yang berbeda. Sepanjang perjalanan menuju ruang operasi saya terus berdoa. Mengingat dan menyebut asma-Nya. Keramahan suster yang membantu membawa saya ke kamar operasi pun terasa sangat menghangatkan.


Sampailah saya dalam kamar operasi yang sebenarnya, setelah sebelumnya saya sempat 'transit' di kamar persiapan atau pra-operasi selama beberapa menit. Ruangannya benar-benar dingin. Kesibukan di kamar operasi mulai terasa, saya juga melihat dokter Syarief sudah ada disana. Lengkap dengan masker dan baju operasi serta tetap dengan keramahannya. Ada dokter anastesi juga yang sebelumnya telah bertemu saya saat di kamar rawat. Saya pasrah. Hidup mati dan segala skenario di hidup saya telah saya serahkan sepenuhnya kepada Alloh. Seorang suster berperawakan kurus dan tinggi menyentuh tangan saya, memasangkan selang infus, dan bersiap menyuntikan sesuatu. Dokter Syarief dan tim operasi membesarkan hati saya. 'Ngga apa-apa', 'Berdoa ya ibu...semoga semua lancar' itu adalah kalimat-kalimat yang terus mereka katakan. Hingga seorang suster menyuntikkan obat anastesi dalam selang infus saya sambil berkata, 'Kita mulai ya Ibu..jangan lupa berdoa. Selamat tidur, semoga mimpi indah' dan semuanya tiba-tiba gelap,saya juga tidak merasakan rasa ngantuk yang bertahap. Saya berada dalam kendali anastesi sepenuhnya.


Pasca Laparoskopi : Saya Merasa "Baru"
Saya memicingkan mata. Ruangan yang sangat terang menyilaukan mata saya. Suara suster berbincang terdengar jelas. Heii..sepertinya saya mulai sadar. Saya melihat jam dinding di depan saya menunjukkan pukul 11.40 dan saya membaca tulisan 'KAMAR PRA-OPERASI'. Saya berada di ruangan yang sama sebelum saya masuk kamar operasi tadi. Dua orang suster ada di samping saya dan menanyakan sesuatu, tapi entah saya belum bisa 'nyambung' menjawab pertanyaannya, kalimat pertama yang saya lontarkan adalah 'Operasinya lancar Sus?', saya mendengar suara saya sedikit serak, tenggorokan saya juga terasa gatal. Suster itu menjawab, 'Lancar Bu, kita kembali ke kamar ya'.


Saya yang berada di tempat tidur didorong keluar dari ruang operasi. Orang pertama yang saya lihat dengan jelas ada di depan ruangan itu adalah suami saya. Wajahnya sedikit tegang. Saya ingin menyapanya tapi tubuh saya terasa lemah. Saya hanya bisa tersenyum. Sesampainya di kamar rawat sepertinya kesadaran saya berangsur kembali. Ada sesuatu yang terasa mengganjal, rupanya ada kateter yang dipasang di organ kemih saya. Makanan sudah disiapkan suster di kamar, saya sudah boleh makan tanpa harus menunggu kentut. Perlahan saya mulai diajak ngobrol sembari disuapi. Saya bertanya kapan mama papa datang, kenapa di jalan, berapa lama waktu operasi saya, dan apakah operasi lancar. Suami saya menjawab dengan sabar. Laparoskopi yang saya jalani berlangsung selama kurang lebih tiga jam. Benar perkiraan saya tadi, saat saya keluar waktu menunjukkan pukul 11.40. Jika operasi dimulai pukul 08.30 berarti memang 3 jam waktu operasi saya. Suami saya juga bercerita, di tengah opearsi tadi seorang suster datang meminta tandatangannya sebagai persetujuan bahwa saya akan dikonsulkan ke dokter bedah yang kompeten karena rupanya telah terjadi perlengketan di usus. Entah bagaimana, tapi menurut cerita suami saya, usus saya masuk terjepit dalam kista dan telah terjadi perlengketan. Beliau mengaku khawatir dan cemas luar biasa, tapi merasa lega setelah operasi selesai dengan baik. Beliau juga bercerita sempat diperlihatkan kista saya yang sudah diangkat. Bentuknya seperti jaringan kulit yang tercabik-cabik, mungkin karena isi cairan di dalamnya sudah diambil. Apapun itu saya dan suami lega, satu langkah awal ikhtiar telah kami lewati.


Hari Sabtu sore, dokter Syarief datang visiting ke kamar saya diiringi oleh beberapa suster. Beliau menjelaskan jalannya operasi kemarin dan beberapa saran, diantaranya agar saya banyak makan jadi cepat pulih. Dokter Syarief juga sudah memperbolehkan saya lepas infus menghabiskan infus terakhir yang saya pakai serta melepas kateter pada keesokan paginya. Saya bersyukur, mengucapkan terimakasih kepada beliau dan saya merasa menjadi pribadi baru yang lebih bersemangat.


Minggu pagi suster datang, melepas kateter yang selama ini membatasi ruang gerak saya dan saya dianjurkan untuk berlatih jalan pelan-pelan. Saya senang dan tak sabar untuk segera turun dari tempat tidur. Saya juga mengatakan kepada suster bahwa saya tidak perlu lagi disibin, saya mau mandi sendiri. Perlahan-lahan kaki saya menapak lantai. Masih sesekali terasa ngilu tapi saya kuat menahan. Mandi berhasil saya lakukan sendiri, sarapan pagi, mengambil baju dan berganti pun juga bisa saya lakukan sendiri. Saat visit pagi itu Dokter Syarief juga sudah memperbolehkan saya untuk pulang dan recovery di rumah setelah perban yang menutup luka sayat laparoskopi di perut saya diganti. Bahagia...Setidaknya saya, suami, dan keluarga masih diberikan kekuatan oleh Alloh untuk terus berikhtiar. Harapan masih terbentang karena dokter mengatakan sel telur saya masih dihasilkan dengan normal, alhamdulillah rahim saya sudah 'diperbaiki' dan yang terpenting kami percaya bahwa penantian ini nantinya akan berbuah manis. Alloh sedang memilih kami menjadi pasangan yang akan 'naik pangkat' dan memberikan ujian yang harus kami lewati dengan baik. Kami pun langsung akan melaksanakan program momongan dengan bantuan dan ridho Alloh melalui bantuan Dokter Syarief dan tim-nya.


Hari ini, tepat satu minggu saya menjalani masa pasca laparoskopi. Sore nanti jadwal saya untuk kontrol. Luka masih ditutup perban, namun alhamdulillah saya sudah bisa berjalan lancar walaupun masih harus sering istirahat, saya sudah bisa memasak untuk suami, menyiapkan baju kerjanya, sholat sudah kuat dengan berdiri meskipun perlahan. Sebelum mem-postkan tulisan ini saya teringat ayat Al-Qur'an yang cukup menguatkan hati yang tarjamahnya seperti ini : 


"Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa ( QS.42 : 49-50).


Semoga segala niat baik dan ikhtiar yang ada akan membawa keluarga kami menuju ridho Alloh. April tahun ini akan menghantarkan kami menuju kehidupan yang lebih baik, bahagia, dan bersyukur...

Dukuh Durensari Bercerita


Beberapa hari yang lalu karena tuntutan tugas menjadi seorang abdi negara, saya berkunjung di sebuah pedukuhan terpencil yang (katanya) para warganya masih jarang tersentuh layanan publik. Yah…kondisi disana memang cukup mengagetkan saya yang notabene anak rumahan ini. Medan yang cukup sulit harus saya lewati sebelum sampai disana. Dengan kemampuan berkendara motor yang tidak begitu mahir, saya cukup terkaget-kaget dengan jalanan yang naik turun dengan curam, belokan yang mengejutkan, aspal yang tak rata, bahkan saya pun sempat mengalami telat oper gigi di tanjakan yang cukup mengkhawatirkan. Untunglah panic disorder saya sedang tidak kambuh saat itu *hehehe..
Finally…setelah perjalanan yang cukup mendebarkan dan menguras energi itu, sampailah saya di lokasi. Sebenarnya saya tak sendiri. Saya berangkat dengan tim penyuluh lain dengan konvoi motor. Sayangnya, hanya saya personil wanita yang terpaksa mengendarai motor sendiri karena yang lain berboncengan. Kami disambut dengan ramah oleh “pak bahu”, saya juga kurang tahu secara pasti apa arti dari “pak bahu” itu. Yang saya tahu, itu artinya si bapak ini termasuk tokoh masyarakat yang duduk di jajaran perangkat desa. Semacam “pejabat kecil” tingkat dusun. Suasana dukuh siang itu tak begitu ramai. Mungkin karena pada waktu kami datang, banyak warganya yang masih bekerja di sawah maupun di hutan. Pak bahu menjelaskan dukuh tersebut terdiri dari 4 RT, dengan jumlah rumah sekitar 170-an, dan jumlah kepala keluarga sekitar 400-an. Dari perhitungan tersebut dapat diasumsikan bahwa setiap rumah bisa jadi dihuni 2-3 kepala keluarga, bahkan ada yang 4 kepala keluarga. Fiuuuh…jumlah yang cukup “sesak” menurut persepsi saya karena sejauh pengamatan rumah mereka pun tak cukup untuk dapat dikatakan luas.
Petualangan kami dimulai. Misi kami adalah mensosialisasikan pentingnya program KB dan perencanaan keluarga bagi kehidupan masyarakat. Kebetulan juga, menjelang akhir bulan ini pemerintah daerah juga mengadakan program layanan MOP (Medis Operasi Pria) dan MOW (Medis Operasi Wanita) secara gratis bagi masyarakat yang membutuhkan. Dengan dipandu oleh seorang kader dan pak bahu, kami melakukan kunjungan dari rumah ke rumah. Tak jarang kami temui para ibu yang sedang berkumpul ngrumpi dan disitu pulalah sasaran empuk kami untuk melakukan penyuluhan.
Sebagaimana perkiraan saya, banyak diantara mereka yang menggunakan metode pil maupun suntik untuk ber-KB. Mereka harus membayar uang sekitar 13 ribu hingga 16 ribu untuk sekali suntik. Mereka pun mengeluhkan sebenarnya secara ekonomi hal itu terasa sangat mubadzir. Itu sebabnya tak jarang saat mereka sama sekali tak punya uang,mereka tidak ber-KB. Jadwal suntik ulang mereka abaikan, pil pun jarang dikonsumsi karena mereka sibuk memikirkan ‘mau makan apa hari ini?’. Akibatnya bisa ditebak, angka kelahiran di dukuh itu cukup tinggi. Sayangnya, hal itu tidak dibarengi dengan membaiknya kualitas hidup mereka.
Kami datang menawarkan alternatif lain untuk ber-KB. Melalui implan atau IUD sepertinya mereka tidak akan kerepotan “menjadwalkan diri” untuk pergi suntik atau minum pil secara teratur. Implan memiliki masa pakai 3 tahun, sedangkan IUD memiliki masa pakai 7 tahun. Mereka yang sudah memiliki jumlah anak lebih dari 3 dan berada pada tataran keluarga pra-sejahtera juga kami tawarkan untuk mengikuti program MOW/MOP. Semua layanan tersebut tak berbayar. Mereka hanya perlu membawa kartu Jamkesmas dan akan dilayani di puskesmas yang kebetulan berada pada kecamatan mereka.
Tak ada yang istimewa pada penyuluhan kami saat itu. Respon rata-rata dari masyarakat yang kami kunjungi di daerah manapun memang nyaris sama. Biasanya mereka merasa takut, malu, enggan untk mencoba cara baru dalam ber-KB. Kami sadar, membangkitkan insight masyarakat memang tidak mudah. Mengubah gaya lama menuju alternatif baru juga bukan hal gampang. Perlu pengetahuan, ketrampilan, dan gaya pendekatan komunitas yang sesuai. Apalagi pada saat ini kita senantiasa dibenturkan pada tataran hak reproduksi pada wanita. Tapi satu yang senantiasa menjadi cita-cita kami, memperbaiki kualitas hidup masyarakat melalui perencanaan kehidupan yang lebih baik.
Hingga pada akhirnya saya sampai di rumah salah seorang warga. Menurut informasi dari kader, rumah tersebut dihuni oleh ayah, ibu, dan 5 orang anak. Kaki saya berhenti di depan pintu rumah mereka. Rumah yang terbuat dari gedhek, lantainya dari tanah, tanpa meja kursi tamu. Terlihat onggokan baju entah bersih atau kotor di sudut rumah, ada kurungan ayam serta setumpuk daun kelapa di sudut yang lain. Sungguh saya merasa bangunan itu kurang layak untuk dapat disebut sebagai rumah. Kami disambut oleh pemilik rumah itu. Seorang wanita berusia 36 tahun yang tampak repot dengan menggendong anak bayinya. Disusul di belakangnya seorang anak kira-kira berusia 2 tahun yang tidak memakai celana, ber-ingus, dan masya Alloh (maaf) ada banyak borok di kepalanya. Saya sempat tercekat, hingga kemudian saya sadar dengan tugas saya. Saya mengajaknya berbincang, hingga pada akhirnya saya tawarkan berbagai kemudahan agar ibu tersebut mau berpartisipasi dalam ber-KB. Saya merasa, ibu ini benar-benar butuh bantuan. Anak pertamanya berusia 14 tahun dan sudah putus sekolah. Begitu pula dengan anak kedua dan anak ketiganya. Sang ayah sendiri bekerja sebagai pengumpul kayu di hutan.
“Tidak ada yang saya harapkan lagi mbak..dan saya yakin kami akan miskin selamanya. Anak saya yang pertama nanti setahun dua tahun akan saya nikahkan, semoga dapat orang kaya dan bisa bantu keluarga” curhat si ibu. Alloh…sungguh hati saya benar-benar teriris dengan pernyataan itu. Saya mencoba memberinya support dan semangat agar mereka bangkit dari kondisi itu. Ah, ilmu psikologi saya sangat terasa manfaatnya kala saya dihadapkan pada situasi seperti itu. Panjang lebar kami berbincang. Saya ber-empati dengan apa yang keluarga itu hadapi. Hingga akhirnya saya beranjak pamit karena waktu yang semakin menghimpit.
Dari pertemuan dengan keluarga itu saya belajar. Betapa masih beruntungnya saya dibanding mereka. Saya seakan di-ingatkan, betapa malunya saya masih sering menggugat Alloh dengan segala ketetapan-Nya padahal ada mereka yang jauh lebih tak berdaya. Tiba-tiba saya merasa, pekerjaan ini mungkin tak berarti bila saya tak mengiringinya dengan hati. Hikmah dari perjalanan kami saat itu adalah komitmen bahwa kami akan berusaha lebih dalam mengabdikan diri, menjaga generasi, dan tentu melapangkan hati kami untuk senantiasa bersyukur dalam segala kesempitan kami….Semoga

Sabtu, 22 Oktober 2011

Kenapa Pindah Alamat?

Eitsss...ini bukan karena ikutan lagi demam mbak Ting-ting yang lagi sibuk mencari alamat pacarnya, tetapi lebih pada tekad untuk kembali rajin menulis dan bercerita. Ummm, lebih tepatnya lagi ini karena saya lupa password blog lama saya *hohohoho...but don't worry cerita-cerita saya terdahulu akan saya simpan disini, dikumpulkan disini, sehingga lebih enak untuk dinikmati. Jangan ragu untuk meninggalkan komentar disini yaaa ;)

Salam